A Reflection’s Canticle


“God has her own reality. She makes an outline on my unreality”


I am a reflection of god. Light above me and surface of the pond gave me a chance to exist. I followed god wherever she moved. 

There were times when gravels thrown to the pond and made some ripples. But I was never afraid. They wouldn’t make me sink. Precisely, the gravels would.


Sometimes fish and leaves swam across me. They messed my image up, but I never worried. Surface of the pond would make a deal with gravity. I would be ok. Otherwise, as a reflection, I know that I was untouchable.

I know god always taking care of herself, so her reflection would be taken care as well. I followed her wherever she moved. I stick to her like her conjoined twin mate. One day, she whispered to me,

“If your being is empty like a hole, I’ll make it as a whole …”

Sundea

Outline


Di luar bentuk yang mudah terdistraksi, berjaga outline. Ia adalah humas yang menghubungkan kita dengan persepsi. Guratan diplomatis yang tahu cara mendisplin, mengeluarkan potensi terbaik dari bentuk, lalu mengantarkannya kepada dunia. Outline adalah pemeran penting yang tahu betul proporsinya. 

Minggu ini outline menggaris pada posting-posting www.salamatahari.com. Ia hadir pada tuhan kresek yang bersentuh dengan refleksinya, pada Markus Benyamin Diredja sang inker dan dosen, pada lagu Hey Nadia yang menjadi outline untuk nada-nada, dan pada gambar Anak Beruang yang terbit pertama kali di www.salamatahari.com edisi 56 ini. 

Outline tekun menyusur bentuk tanpa berusaha merebut sorot lampu. Dia tahu bahwa sesungguhnya dia sendiri befungsi menerangi seperti lampu.

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea

At Least ‘til the Inking, Markus Benyamin Diredja

 
Ada cuplikan lagu Michael Franks, In the Yellow House, yang mengingatkan Sundea kepada salah satu teman terbaiknya, Markus Benyamin Diredja : “painter, brother, friend, at least ‘til the inking…”.

Pria tinggi-besar yang lahir di awal Mei 1980 ini adalah seorang dosen Seni Rupa, ilustrator, dan komikus. Jatuh cinta pada tanggung jawab inking, baik secara harfiah maupun metaforik. Sambil menunggu istri Markus, Eka, yang sedang bekerja, Dea menanggap Markus untuk mengobrol seputar inking dan outline. 






Baiklah, Kus. Karena Salamatahari minggu ini temanya “Outline”, menurut lo, outline itu apa?
Menurut gua … outline itu garis luar. Outline itu sesuatu yang penting. Gua selalu bilang sama mahasiswa gua kalau bikin outline, tuh, seperti mengukir. Outline bisa tebel, bisa tipis. Prinsipnya ngasih kejelasan bentuk, aja. Bahkan waktu gambar kita masih item-putih, kualitas gambar terepresentasikan dari outline-nya. Tapi itu pewahyuan gua, ya, tiap orang kan beda-beda. Ada juga yang outline-nya berantakan, tapi gambarnya bagus. Atau sebaliknya, outline-nya rapi, tapi gambarnya kaku. Seni kan luas banget. Lagi pula seni bisa diliat dari sense-nya, bisa juga dari tekniknya. Tetep yang paling baik yang seimbang. Dan gua yakin tiap orang pasti lagi nyari titik semibangnya sendiri-sendiri, secuek apapun mereka.

Ok. Di luar gambar-menggambar, outline itu apa menurut lo?
Batesan. People need boundaries. Tanpa batesan, kebebasan itu malah jadi chaos. Orang yang nggak punya batesan justru jadi nggak punya achievement untuk menginspirasi orang. Ujung-ujungnya, ultimate di freedom itu butuh batesan.

Terus, apa batesan lo sendiri?
Ya … kalo gua pribadi, sih … Tuhan.

Kresek, dong?
Hahahaha … itu kan elo. Batesan yang ke dua adalah hati nurani. Soalnya kadang kalau kita cuma mikir ke arah Tuhan, kita malah jadi jahat. Hati ngingetin gua kalo gua masih manusia dan orang di sekitar gua juga masih manusia. Nggak mungkin gua ngarepin ada kesempurnaan Tuhan di dunia ini.

Hmmm … bener juga, ya. Nah, sekarang soal inking. Inking itu sama, nggak, sama bikin outline?
Beririsan. Banyak orang yang outline-nya pakai pinsil. Inking itu untuk mempertegas lagi.

Apa yang istimewa dari inking?
Secara konsep, inking itu permanen. Kalaupun mau dihapus, harus pakai cat atau tip-ex. Tapi udah gitu tekstur kertasnya ga akan sama lagi.

Kalau digital?
Kalau digital, sih, nggak ngaruh. Tapi buat gua, yang namanya “inking” berarti manual. Nah. Justru di dunia manual inilah gua belajar banyak.

Wow. Seru kayaknya. Belajar apa aja?
Gua seneng memberikan bentuk tegas pada orang, makanya gua jadi dosen. Kalau yang gua inking gambar orang lain, gua jadi belajar untuk liat karakter dan cara gambar orang. Tiap nge-inking, gua nggak pengen karakter mereka ilang. Gua cuma pengen negesin bentuknya mereka meskipun cara gambar gua beda sama cara gambar mereka. Gua seneng pas orang-orang ngeliat gambarnya dan bilang, “Wah ternyata kalo di-inking gambar gua jadi gini, ya …”. Di inking gua juga belajar ngambil keputusan. Gimana juga, meskipun nggak dengan maksain cara gua, keputusan tegas emang harus diambil.

Jadi filosofis, nih. Ngomong-ngomong, lo pernah salah inking, nggak, Kus?
Pernah. Tapi setelah bikin keputusan salah, kita harus deal with it atau ngebentuk yang salah itu jadi sesuatu yang lain. Nggak bisa ditiadakan.

Gimana rasanya salah inking?
Tegang-tegang menyenangkan karena gua jadi musti super kreatif. Kalau itu di gambar orang lain, biasanya kesalahannya misalnya garisnya ketebelan. Tapi kalo gua bikinnya rapi, orang nggak notice, kok.


Hyaaa … tapi sekarang kan gua jadi notice dan tau. Btw, gimana dengan profesi inker?
Di luar negeri ada. Tapi di Indonesia suka dianggap nggak bermanfaat. Padahal kalo ada yang mau nyari inker, gua mau, lho. Gua suka banget inking. I love inking!

Semoga ada pembaca Salamatahari yang cari inker, deh, Kus … hehehe … terakhir, nih Kalau hubungannya sama idup, lo lagi inking apa di idup lo?
Yang berasa banget … mungkin gua lagi ink family. Gua kan baru married sama Eka. Terus yang berasa lagi, gua lagi ink generasi di bawah gua dengan jadi dosen. Dan gua juga mau nge-ink perkomikan Indonesia.

Asoy! Semoga sukses, Pak Dosen … Dosen Really Matter … hehehe …
Bagian kecil lain dari lagu In the Yellow House terngiang di telinga Dea, “You always help me when you could, you did your best, at least you’ve tried …”.

Selama berteman dengan Markus enam tahun terakhir, ada cukup banyak garis tegas yang ditorehkan Markus pada Dea. Melalui Markus, Dea banyak belajar mengenali bentuk dan merapikan garis serabutan yang seringkali Dea tarik secara intuitf.

Semoga melalui posting ini, Dea dapat ganti menorehkan garis tegas pada Markus: Percaya, deh, Kus, latihan setiap hari membuat kamu bisa meng-ink apa saja, termasuk keluarga, generasi di bawahmu, dan dunia perkomikan Indonesia ;)

Sundea

Hey Nad(i)a !


Nadia adalah satu komposisi di antara seribu juta komposisi nada yang saling bersinggungan. Jika kamu tak cukup teliti merunut pola yang menjalin Nadia, kamu akan tersesat di keentahan. Jatuh cinta adalah pelacak jejak terbaik yang pernah ada. Dan teman saya Inclusio yang jatuh cinta pada Nadia mampu merunut Nadia tanpa tersesat. 

Pada suatu sore yang cerah, Inclusio datang ke rumah saya membawa peta komposisi nada. Dengan riang ia menunjuk sebuah bagian yang sudah ditorehi outline, “Ini Nadia. Hey Nadia!” 



Nadia adalah gadis yang renyah dan manis seperti biskuit susu. Pesonanya membuat teman saya jadi meletup-letup sekaligus santai menenangkan; poppin’ and jazzin’. Aura kasmaran memancar dari dirinya seperti limpahan cerah matahari sore itu.

Telusuran Hey Nadia dimulai dengan kord-kord mayor dan penegasan vokal dengan backing vocal pada kata-kata yang sangat jatuh cintais adanya seperti “I really love you.” Namun ketika memasuki refrain, ada sedikit pergeseran melodi dan running chord. Melodi yang tadinya mundar-mandir di seputar nada-nada yang mudah dijangkau tiba-tiba merentang ke atas dan menuntut effort bernyanyi yang lebih kuat. Kord yang pada dasarnya berurut di seputar C – F -G- Em – Am – Dm – G membangun nuansa dramatis yang konvensional. Saya pasang telinga, mencoba menangkap kata-kata yang dicurhatkan Inclusio lewat reff Hey Nadia

“Hey Nadia, would you keep my heart if you might
‘cause you are the one who fill my heart
But it’s ok, if you don’t want …”

It’s ok if you don’t want?” tanya saya.

“Iya,” sahut Inclusio yakin.

“Hmmm … iya, sih, cinta ditolak memang resiko, tapi … se-release apa kamu?”

“Aku rasa outline yang kubuat cukup menjelaskan, deh…”

Maka saya kembali mengamati peta komposisi nada yang dibawa Inclusio. Outline yang dibuat Inclusio, Hey Nadia, terlihat selentur karet dan tak terikat menjadi simpul mati. Ia adalah sebuah lagu yang mewujudkan sebuah cinta tanpa syarat kepada Nad(i)a. Ia tahu Nad(i)a tak bisa dikurung. Tetapi, karena hanya “you are the one who fill my heart” , outline-lah yang mengalah. Ia yang akan dengan fleksibel mengikuti alir Nad(i)a yang pop jazz dan terbuka untuk berbagai improvisasi ini. Menjaganya agar tak hilang di keentahan. Membuatnya selalu terpelihara dalam sebuah bentuk. Menjadikannya istimewa dan bersinar di antara seribu juta komposisi nada yang bersinggungan dengannya. Saya jadi terharu. Inclusio dan Hey Nadia-nya ini ternyata romantis sekali.

“Sudah, ah, curhatnya,” ujar Inclusio sambil melipat petanya. Ia terlihat agak malu karena terlalu berbunga-bunga, “aku pulang dulu, ya, Dea. Kapan-kapan kita ngobrol lagi …”

Saya mengamati punggung Inclusio. Juga peta besar yang diapit di ketiaknya. Ada bagian diri Nad(i)a yang terjepit dan menyembul keluar dari peta. Outline menjuntai keluar seperti tali pengaman.

Makna berkelana mencari definisi, kemudian outline menangkapnya.

Sundea 

inclusio Inclusio adalah band indie beraliran pop-jazz yang terdiri dari Rangy (vocal), Bayu (piano, synthesizer), Dado (gitar), Agung (drum), Ajay (bas), serta kerap tampil bersama additional players seperti pemain saksophone atau terompet.. Bermain dari kampus ke kampus dan kafe ke kafe. Untuk tahu lebih banyak mengenai Inclusio, klik www.myspace.com/inclusio

Semut yang Menggambar Anak Beruang


Pada suatu pagi, di hari keseimbangan, Anak Beruang dan Semut mengobrol sambil sarapan madu bersama-sama. 

“Minggu depan Salamatahari temanya outline, Semut, dan edisi itu penting untuk aku.”
“Penting kenapa?”

“Karena di sana, untuk pertama kalinya Serial Anak Beruang muncul di www.salamatahari.com.”

“Wow, selamat, ya …”

“Tapi kata Dea harus ada gambar Anak Beruangnya. Aku nggak bisa gambar dan kamera Dea nggak bisa motret tembus imajinasi …”

“Jadi gimana, dong?”

“Kamu bisa gambar, nggak …?”


Seminggu kemudian, Semut yang ternyata berasal dari bangsa “semultiply”, mengganda-gandakan dirinya. Ia menyusun diri menjadi enam gambar Anak Beruang yang lucu sambil membuat pengakuan, “Anak Beruang, sesungguhnya, sejujurnya, aku belum pernah menggambar binatang, terutama beruang … hahahahaha ….”

DANG !

babybear-ant 
Sundea

Ilustrasi : Anto Arief penggambar, musisi, seniman yang bulan Maret ini akan berpameran “Groovin’ Mixtape Project” di Amsterdam, dan teman yang menyenangkan =) 

======================================
Halo, Teman-teman, di edisi ini untuk pertama kalinya Serial Anak Beruang muncul di www.salamatahari.com. Salamatahari mengundang teman-teman untuk ikut berpartisipasi. Silakan menggambar tokoh Anak Beruang (yang sering muncul secara random di twitter @salamatahari) versimu, kemudian kirim dalam format JPEG ke salamatahari.sundea@gmail.com. Jangan lupa sertakan profilmu, ya … ;)

Jika cocok, gambar Anak Beruangmu akan muncul di www.salamatahari.com beserta cerita kecil dari Dea.

Jangan ragu-ragu, segera kirimkan karya kamu. Mari kita nge-jam karya =D

Bintang

Bintang adalah matahari yang hadir dengan rendah hati. Ia sedia berbagi ruang dengan matahari-matahari kecil lainnya dan tak pernah sepenuhnya membunuh kegelapan. Jarak membuatnya terlihat sederhana. Namun pesona membuktikan bahwa sesungguhnya ia tak pernah kehabisan ruang untuk makna.

Bintang adalah kekompleksan yang dikemas dengan ringkas dan apik. Pada www.salamatahari.com edisi ini, ia hadir pada percikan cahaya Vina Febriyanti si bintang kelas, kisah kecil dari sebuah sejarah kelam lakon Mwathirika, lampu di perut Batman, dan seni musik yang mendamaikan di tengah ketengangan Malaysia-Indonesia. Cahayanya yang kecil-kecil sesungguhnya mengantar pesan besar yang menentukan.

Teman-teman, karena kemewahan bintang bertumpu pada kesahajaan, untuk menjadi bintang mungkin kita perlu berlatih menjadi yang paling kecil dan sederhana.

Semoga kita bisa …

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea 

Cerita Kecil Tentang Bintang di Perut Batman



Sebuah bintang melekat di perut Batman. Warnanya hijau semu. Ia tidak bersinar, tapi posisinya yang dekat dengan mata kepala membuat ia lekas menarik perhatian.

“Ini lampu, ya, Pak?” tanya Dea kepada Pak Supir angkot yang sedang mengemudi. “Iya,” sahut Pak Supir. “Bisa dinyalain, nggak?” tanya Dea lagi. “Sekarang udah enggak, Neng, udah saya putus kabelnya,” jawaban Pak Supir membuat Dea terperanjat.



Alasan Pak Supir cukup unik. Si Bintang terlalu terang. Tetapi ia mengaku suka meramaikan angkotnya dengan asesoris. Itu sebabnya, ia membiarkan Si Bintang menempel di situ meski telah membunuh pangkal sinarnya. “Kenapa harus di Batman, Pak?” tanya Dea. “Saya suka,” sahut Pak Supir singkat. “Kenapa Bapak suka sama Batman?” lagi-lagi Dea bertanya. Pak Supir tidak menjawab. Ia menyungging senyum yang menyiratkan sesuatu, tapi entah apa. “Ya udah, deh. Bintang Batman-nya aku foto, ya, Pak …,” Dea minta izin. Pak Supir mengangguk. Senyumnya belum terbenam, tapi maknanya tidak terbit.

Jarak berangkot Dea tidak panjang. Sebelum sempat bertanya dan memotret lebih banyak, Dea sudah sampai ke tujuan. Sambil berjalan kaki menuntaskan sisa perjalanan, Dea mengamati foto yang baru Dea ambil. Bintang ini lucu sekali. Ia menjadi titik pusat pada bayang-bayang Batman. Mungkin Batman hanya membutuhkan titik tumpu. Sinar adalah sesuatu yang nantinya justru akan dipancarkan di luar angkot. 

Tiba-tiba Dea curiga kalau Dea naik angkot yang dikendarai Bruce Wayne, lelaki di balik sosok Batman …

Bintang-bintang menyala di langit. Tetapi bintang mati di langit-langit.

Sundea

Vina Febriyanti, Bintang Kelas yang Cahayanya Memercik

 

Setiap masa penerimaan rapor, sekolah bersinar-sinar. Bintang-bintang terbit di kelas-kelas. Pada suatu hari, Salamatahari menangkap Vina Febriyanti, sebuah bintang, dan menyentuh cahayanya ….













Vin, Vin, kamu sekolahnya di mana, sih?
SDN Cirateun.

Kelas berapa?
Kelas dua.

Katanya kemaren ranking tiga, ya?
Iya.

Rasanya gimana?
Seneng.

Hmmm … senengnya gimana?
…..

Baiklah. Pas jadi bintang kelas, dikasih hadiah, nggak, Vin?
Enggak.

Kok enggak, sih?
Nggak tau.

Kalo misalnya dikasih hadiah, Vina pengen minta hadiah apa?
Tas warna pink yang gambarnya Barbie.

Kenapa suka Barbie sama warna pink, Vin?
Bagus.

Vina bisa rangking karena rajin belajar, ya?
Jarang, cuma di sekolah sama kalau ada ulangan.

Woah, gitu? Baiklah. Paling suka pelajaran apa?
Inggris, Bahasa Indonesia, soalnya gampang. Kalo agama susah.

Susahnya kenapa?
Nulis Arabnya suka bingung.

Hmmm. Mmmm … lagu kesukaan Vina apa, sih?
ST 12.

Oh, ya? Yang mana?
….

Kalo binatang kesukaan Vina apa, sih, Vin?
Gajah.

Gajah? Kenapa?
Badannya besar, bisa dinaikin.

Wahahaha … pernah naik gajah, Vin?
*mengangguk* di Kebun Binatang

Kalo di sekolah, Vina paling seneng apanya?
Bu Uwas sama Bu Yati.

Siapa itu?
Guru.

Ooo … Vina senengnya kenapa sama mereka?
Baik.

Baiknya gimana
……

Gurunya suka ngajak nyanyi lagu ST 12, ya?
Enggak.

Ato ngajak naik gajah?
Enggak

Suka ngajak main Barbie kali, yaaaa …?
*menggeleng*

Baiklah. Vina anaknya sering nangis, nggak?
Jarang.

Mmm … apaan lagi, ya?
….

Ya udah, deh. Makasih, ya, Vin …

Cahaya bintang kecil ini memercik, bukan memancar. Dan percikan selalu mengandung unsur kejutan.

Percikkan cahayamu, Bintang Kelas, karena malam yang dingin dan gelap selalu butuh aksen …

Sundea

We Trust Music, Not War …


-Beat n Bite Bandung, Sabtu, 15 Januari 2011-
We Trust Music Not War

Waktu malam, Sang Senja dengan mata yang sembab menanya dirimu,
butuhkah malam ini, kawan, dengan cahayaku ?*

Bahasa Melayu Kuno memaknai kata “seni” sebagai “halus” dan “kecil”. Tanpa kita sadari, yang halus dan kecil kadang justru lebih kuat daripada apapun. Alam memberi mereka kepercayaan sehingga tak merasa perlu memberi mereka senjata.


Lalu musik, salah satu cabang seni, hadir dengan kehalusannya yang bersahaja. Ia hadir tanpa panggung di café mungil Beat n Bite. Di sana musisi Malaysia-Indonesia berbagi kehangatan tanpa terpengaruh seteru yang berdesing. “Meskipun Indonesia-Malysia sedang panas, kami ingin membuktikan bahwa kami yang bermusik baik-baik saja,” ujar Yulius Iskandar, pendiri CLAP Music, portal penyedia gigs bagi teman-teman mancanegara yang berkunjung ke Bandung. “We Trust Music Not War” adalah salah satu event perdana mereka selain “Rough Cut” yang digelar di hari yang sama.



Selama sekitar tiga jam, serangkaian lagu akustik dipeluk penuh sayang oleh kemungilan Beat n Bite. Malam itu bersinar Galant (gitaris yang telah menelurkan album “About A”), Anto Arief (70’s Orgasm Club), Teman Sebangku (Sarita pada vokal dan Dolly Harahap pada gitar), Theorist (band yang terdiri dari 3 personil dari Indonesia dan 2 personil Malaysia), serta Mohd. Jayzuan (musisi dan penulis dari Malaysia).

Acara berlangsung cair dan interatktif. Dalam lagu Love Buzz, misalnya, Anto Arief mengajarkan penonton menyanyikan penggalan dari lagu. “Biasanya di lagu ini ada backing vokalnya soalnya, sekarang kan nggak ada,” ujarnya terus terang.

T
heorist, band blaster Malaysia-Indonesia pun sempat secara spontan menarik kawan mereka, Vicky Burgerkil, untuk ikut berpartisipasi dalam lagu Unity. Di tengah-tengah lagu, Vicky pun boleh dengan santainya hengkang.


Teman Sebangku yang bernuansa manis kekanakan menghadiahkan Waktu Malam gubahan Deu Galih. “Lagu ini emang dikasih buat mereka, soalnya vokalnya lebih cocok,” kata Deu Galih yang malam itu hadir juga di sana sambil tersenyum hangat. 


Acara ditutup dengan penampilan kocak Mohd. Jayzuan. Tak sekedar menyanyi, kawan dari Malaysia ini juga membacakan beberapa puisinya. Di sana antara lain tersampaikan rasa cintanya terhadap Bandung. Terhadap Indonesia.

Waktu malam, seribu kunang-kunang ramah menyapa dirimu
Butuhkah malam ini, kawan, dengan cahayaku? *

Malam itu aura persahabatan damai berpendar.

Tak perlu seribu kunang-kunang untuk memantik nyalanya …

Sundea









*penggalan lirik Waktu Malam, lagu Deu Galih yang dihadiahkan untuk Teman Sebangku.

Mwathirika Tak Dihitung Seperti Matematika

-Goethe Institute, Jakarta, Selasa, 18 Januari 2011-

Pertunjukkan Boneka Mwathirika


Di panggung itu kata-kata hilang. Tapi bahasa tidak. Ia menjelma pada gestur boneka yang ekspresif, simbol-simbol yang tersirat, ilustrasi musik yang mengafirmasi cerita, dan catatan-catatan di kepala kita sendiri. Malam itu lima tokoh boneka menjadi bintang sepenggal sejarah. Manusia-manusia yang menghidupkan mereka menjadi bayang-bayang.



Tersebutlah Baba, lelaki pekerja keras bertangan satu yang tinggal bersama kedua puteranya, Moyo dan Tupu. Bertetangga dengan mereka, tinggal Haki dan puterinya yang berkursi roda, Lacuna. Kedua keluarga itu hidup rukun bertetangga dan bahagia. Meski tanpa sosok ibu, anak-anak mereka tumbuh dengan sehat dan wajar.



Tetapi situasi politik kemudian berubah. Semenjak cap segitiga merah tertoreh di jendela rumah Baba, ia menjadi buron. Haki yang mencari aman menjaga jarak. Anak-anak yang tak paham apapun ditinggalkan dalam kebingungan ketika Baba tiba-tiba dibawa pergi oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Moyo akhirnya pergi mencari Baba, namun tak pernah kembali. Si kecil Tupu yang manja lalu sebatang kara, dicengkeram perasaan tidak aman, menghadapi bayang-bayang yang mundar-mandir di sekitarnya, dan pada akhirnya dipeluk dengan nyaman oleh sang pemain boneka. Di sana, seperti masa kini yang memeluk sejarah, dalang dan boneka tidak lagi dipisahkan oleh bingkai. 


Lakon ini digarap oleh pasangan suami istri yang bersentuhan langsung dengan sejarah kelam 1959-1969; Maria Tri Sulistyani (anak Letkol TNI AU) dan Iwan Effendi (cucu dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun). Ingatan personal masa kecil itu kemudian melahirkan sebuah kisah yang juga langsung membidik hati dan tidak cerewet menggerutukan hal-hal klise. Sepanjang pementasan, bertaburan simbol yang mungkin tak sepenuhnya kita tahu, tapi seutuhnya dapat dirasakan. Karakter anak-anak yang tanpa tendensi membuat pertunjukkan ini hadir sebagai sub dari sebuah sejarah. “Mwathirika” yang menjadi judul pementasan ini sendiri berarti “korban” (diambil dari Bahasa Swahili, suku di Afrika Timur).

Bicara soal drama dan korban, sore itu di depan Goethe Institute pun sempat terjadi drama kecil akibat demonstrasi dadakan FPI. Akibatnya ada beberapa calon penonton yang menjadi korban, terpaksa pulang dengan kecewa tanpa sempat menyaksikan pertunjukkan boneka luar biasa Mwathirika dari Papermoon Puppet.


Di masa kini, sejarah mungkin hilang. Tetapi peristiwa yang pernah melintasi suatu masa tidak pernah hilang. Ia mewujud pada apa saja. Menjelma menjadi apa saja …

Sundea

mengenai Mwathirika dapat di-klik di sini
mengenai Papermoon Puppet dapat di-klik di sini

Jimat


Hari ini malam Jumat. Tanggal 13 pula. Ada kesan keramat pada kedua penunjuk waktu yang mewakili hari ini. Karena itulah www.salamatahari.com mengangkat tema yang juga mengandung kesan serupa: jimat.

Tetapi buang jauh-jauh stereotipe “jimat” yang umum kau kenal. Jimat versi www.salamatahari.com bukan sesuatu yang mistis, horor, dan kedukun-dukunan. Jimat adalah sesuatu yang dekat dengan keseharian kita. Karena pada dasarnya jimat adalah setiap benda yang dipercaya memiliki “isi” dan memberi kekuatan, di edisi kali ini www.salamatahari.com berbagi cerita-cerita kecil seputar benda-benda yang kita sayangi dan menyayangi kita dengan caranya sendiri-sendiri. Ada blackberry Rahne Putri yang menemaninya setiap hari, nafas almarhum Norvan Hardian pada karya-karyanya, gelang Power Balance yang sempat dipercaya menjaga keseimbangan tubuh, dan puisi manis mengenai selimut awan dari posting 30 hari menulis.

Nyawa dan kekuatan tertidur pada setiap benda. Sesungguhnya, kita selalu punya privilege untuk membuatnya terjaga.

Apa benda yang sudah kau bangunkan dari tidurnya? Ia jimatmu.

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea

Menunggu Pagi


-Commonroom, Selasa, 11 Januari 2011-

Persiapan Pameran Mencandu Pagi

Setiap seniman menitipkan nafas kepada karya yang dibuatnya. Hingga jika pada suatu waktu ia berpulang, masih ada sisa nyawanya yang menggeliat mencari ruang. Menyisip di tengah wacana. Menyapamu sebagai ingatan dan rasa rindu.




Di penghujung tahun 2010, Norvan Hardian, komikus eksentrik yang terkenal dengan serial Pamali dan  
Super Condom-nya berpulang ke rahmatullah. Ia yang menderita kanker pankreas stadium lanjut menyisakan setumpuk artwork dan komik setengah jadi yang tersebar di antara teman-teman dan keluarga. Maka tercetuslah ide untuk memamerkan karya-karya Norvan. 

Ketika sore itu Gia (kakak Norvan), Kimung, David, Sigid, dan Sundea bertemu untuk menyusun karya dan pameran, seperti ada bahasa yang kami kenal baik hadir di sana. Bentuknya berbeda, tetapi kedekatannya tidak bisa ditelan apa-apa. 

Sore adalah subordinat dari pagi. Pada sore, kadang kita menemukan warna pagi.

Teman-teman, dukung pameran ini dengan doa dan kehadiranmu, ya ….

poster
Sundea

Dari BB Rahne Putri Sang Multweetasking

fotorahne1 Meminjam istilah @ted_kho, Rahne Putri yang eksis di jagat pertwitteran adalah seorang “multweetasking”. Ia dikenal mampu menge-tweet dalam situasi apapun; tanpa melihat layar ponsel, sambil berlari-lari naik tangga, sambil berdesakkan dalam bis, dan lain sebagainya. 

Di kemudian hari, tweet-tweet-nya yang seru, manis, dan jenaka menghasilkan sebuah buku. Bagaimana hubungan Rahne dan blackberry-nya yang setia mengantarkan tweet-tweet-nya ini?


Halo, Ran … cerita, dong, tentang ketrampilan multweetasking kamu ini …
Haha keterampilan sih engga. Mungkin saya tipikal orang yang emang bisa multitasking. Dalam satu waktu ngerjain hal hal yang bersamaan. Berhubung di twitter timeline saya seru seru banget, jadi saya bisa aplikasiin itu juga. Jadi biar sibuk masih bisa ngetwit hahaha. Ya, tapi kalo lagi beneran sibuk banget ampe ga kepegang HP sih ya nggak ngetwit juga. Disesuaikan sih, mana yang sekiranya saya harus ngetwit atau engga, ga enak juga lagi kumpul ama keluarga atau lagi rapat ama atasan malah twitteran :)) Seringnya emang lagi di kubikel. Sambil dengerin lagu, ngerjain kerjaan, cek TL ada yang seru ikutan main. Gitu aja sih :))

Salah satu contoh kamu nge-tweet di saat yang unusual kapan, Ran?
Kayak kemarin lagi kejebak di LIFT bisa ngetweet hahaha. abisnya bingung mau ngapain, kalo ngetweet kan seakan-akan kita bicara sama banyak orang, terserah mau dibaca atau tidak :))

Hahaha … baiklah. Jadi di lift itu kan dirimu nge-tweet pakai BB kamu kan, ya? Buat kamu, BB itu ibarat apa?
BB sekarang kayak organizer sih. Barang pertama yang saya pegang kalau bangun tuh ya HP (maklum jadi alarm juga), kerjaan-kerjaan juga masuk ke push email, dan tentunya ngetwit juga. Karena bagi saya twitter/timeline itu jadi kayak brain playground. Bukan cuma ngasih tau kita sedang apa, tapi juga berkreasi dengan kata kata sejumlah 140 karakter. Kadang bikin puisi/main plesetan. Ya semacam sampah otak yang bisa dinikmati bareng-bareng kalo kuat ama timeline saya hahaha

Dari tweet-tweet kamu, kamu ngehasilin buku Anjing Gombal katanya, ya? Cerita, dong, cerita, dong … =D
Saya di Jakarta ini ga begitu punya banyak teman karena saya bukan asli sini. Lalu di twitter saya suka follow random orang-orang yang suka berkicau yang menarik bagi saya. Saat itu saya follow @sepatumerah, dan dia pernah mainan hashtag #anjinggombal. Sayaaa kebetulan pas kuliah juga suka ngejoke-ngejoke gombal gitu, saya keluarin lah, semacam perang gombal ama mbak @sepatumerah. Lalu merembet jadi follow orang-orang lain yang suka menggombal juga. Ada @sugahpuff @jonathanend @exotrisc, @nisankubur dan lalu akhirnya kita memutuskan untuk membuat akun @anjinggombal. Kita juga ditawarin oleh "bukune" (sebuah penerbit) untuk mengumpulkan kompilasi twit dari anjinggombal. Dan akhirnya kita putuskan untuk ijin ke semua kontributor yang pernah kita RT di akun anjinggombal, lalu royalti penjualan buku akan kita sumbangkan ke Yayasan tunas Cendikia.

Terus katanya kamu juga nulis bareng The Hermes, ya? The Hermes ini apa, Ran?
The Hermes ini sih ini adalah grup penulis yang terbentuk karena suka mengomentari cerpen di facebook Fajar Nugros dan Artasya Sudirman. Saya sendiri sebelumnya tidak bergabung dalam The Hermes. Saat saya pindah ke Jakarta, saya dikenalkan kepada mereka (The Hermes) oleh frezask (Faizal Reza yang merupakan salah satu dari grup The Hermes) di suatu waktu. Yah karena ga punya temen dan mereka sangat-sangat inspiratif, saya akhirnya terbujuk untuk mencoba membuat cerpen sama seperti mereka. Dan akhirnya sering ikut acaranya dan berkumpul, saya jadi bagian dari mereka. Tapi saya perlu belajar banyak sih, saya baru belajar nulis cerpen dan puisi juga di akhir tahun 2009 ~ itu saat berkenalan dengan mereka semua. Untuk terus selalu berkarya, The Hermes sering membuat e-magz yang muncul setiap 2 bulan sekali. boleh dliat infonya di www.hermesian.wordpress.com :)

Asik. Dan katanya kalian juga lagi nyiapin buku, ya?
Iya. Saat ini The Hermes sedang mengerjakan project “Hermes 4 Charity”. Ini sudah kali kedua kami membuat project yang mana ada kumpulan cerpen dari The Hermes dan penulis tamu. Buku ini akan kita jual dan hasil penjualannya akan diserahkan ke pemulihan bencana bencana yang ada di Indonesia (kali ini untuk Merapi & Wasior, sebelumnya untuk gempa di Padang). Untuk kali ini, kami membuatnya tidak hanya sebatas elektronik magazine, tapi kami mencetak 1000 buku yang berjudul 4 Elemen. Di dalamnya ada cerpen dan puisi dari 30 orang, semuanya juga terkumpul karena twitter. Kalau mau pesan bisa di  http://de.tk/Q4zS9


rahne 4 elemen

Wah, twitter ternyata luas peluang aksesnya … hehehe … Ok. Berhubung edisi ini temanya seputar benda-benda, kita balik lagi ke BB kamu, ya … gimana ceritanya Si BB sampe ke tangan kamu?
BB ini sejarahnya dulu ia diproduksi pabrik, lalu entah gimana ada di kios HP di salah satu pusat perbelanjaan, lalu saya tukar dengan segelintir uang. Begitulah sejarahnya hingga ada di saya. HAHAHA. Dulu kepikiran ganti ke BB karena 1. ) saya ga punya laptop, padahal penting bagi saya & kerjaan untuk cek email. 2) HP lama juga emang udah rusak sih, jadi bukan karena ikut2an beli BB. Emang butuh.

Hmmm … baiklah. Apakah BB kamu bisa disamain dengan … jimat?
Mungkin bukan jimat yah, tapi kalo ga bawa BB emang rasanya ada yang kurang gitu. Jadi gelisah.

Terakhir. Kamu punya jimat?
Jimat? Saya ga punya …

Bagi kamu yang juga senantiasa bekerja dan menghasilkan sesuatu dengan bantuan smart-phone-mu, pernahkah kamu menelaah kembali keakrabanmu dengan sang smart phone?

Kita mencintai benda-benda dengan berbagai cara. Benda-benda pun membalas cinta kita dengan berbagai cara.

Sundea

Teman-teman, kunjungi Rahne Putri di: www.sadgenic.tumblr.com dan follow twitternya di @Rahneputri

Sisa Busa Power Balance



Demam gelang Power Balance membusa dan terbilas seperti shampo. Hanya sekejap ia populer sebagai gelang keseimbangan yang prestisius, setelah itu ia dicerca karena ternyata tak mengandung khasiat apa-apa. Selasa sepekan lalu (04/01), pihak manajemen Power Balance Australia mengakui bahwa tak ada penelitian ilmiah yang mendukung pernyataan mereka seputar manfaat gelang berhologram ini.

Lalu tepat di hari keseimbangan satu minggu yang lalu (06/01), penjual resmi gelang Power Balance di Indonesia, Point Break, menarik gelang yang diisukan menjaga keseimbangan ini dari seluruh gerainya. Berita pun riuh bertiup. Gelang ini segera menjadi bahan tertawaan dan ditinggalkan. Purnalah masa jaya Power Balance yang konon dikenakan para olahragawan terkenal manca negara. Seperti shampo sisa keramas, buihnya mengalir menuju keentahan melalui lubang kamar mandi.



Tetapi ternyata kesaktian sejati justru terkandung dalam gelang Power Balance yang katanya palsu. Dengan caranya sendiri si palsu memiliki “a power to make balance”. Setelah yang asli kehilangan kekuatannya, si palsu tetap berkeliaran tanpa gentar di pasar dan pinggir jalan. Kehadirannya mengandung peran, turut menjaga keseimbangan sistem ekonomi bagi sebagian masyarakat. Tidak ada sugesti, yang ada hanyalah kesepakatan.

Di salah satu kios Pasar Lembang, sebuah gelang Power Balance terpajang penuh percaya diri di antara asesoris gemerlap imitasi. “Silakan, Neng, yang mana,” penjaga kios segera tanggap melihat saya yang berdiri lama-lama di depan etalasenya.


“Yang itu, Pak, yang merah, harganya berapa?”
“Dua lima, Neng.”
“Mahal amat?”
“Yah … Neng tau sendirilah gelang itu harganya berapa,” kata pemilik kios dengan bangga dan yakin.

Masihkah kamu percaya pada kekuatan Power Balance? Sebagian kisahnya mungkin membusa dan terbilas seperti shampo. Tetapi menurutmu, mengapa rambutmu harum dan berkilau?

Sundea

Day 18: Selimut Awan

Malam ini dia tidur pulas
Selimut putih membungkus tubuhnya
Hangat dan menenangkan
Hanya dia yang mempunyai selimut itu


"Ini selimut awan."
Aku menyentuhnya sebentar
dan tiba-tiba langit terhampar di bawah
Bintang-bintang berkedip genit padaku


Aku ingin meminjamnya
tapi dia tidak rela
"Selimut ini hasil rajutan ibuku
yang dikirim langsung dari Surga."





fotoerlin
Erlin is a ollege student who admiring literature. A coffee lover. Visit her at :
http://acoffeelover.blogspot.com/










Tentang 30 Hari Menulis

“30 hari menulis” adalah sebuah program seru yang digagas oleh Theoresia Rumthe (penyiar MGT 101.1 FM dan penulis) dan diasuh oleh Maradilla Syachridar (penyiar Sky 90.50 FM dan penulis).
Bekerja sama dengan Salamatahari, telah terpilih dua peserta yang memperoleh buku “Salamatahari 1” atau “Salamatahari #2”. Sebuah posting seputar 30 hari menulis pun hadir setiap minggu di www.salamatahari.com.

Ingin tahu dan menjadi peserta 30 hari menulis? Mari klik http://maradillasyachridar.tumblr.com/

Be(r)kas


Geletar “r” menyisip di sela-sela kata “bekas”. Yang usang lalu memperoleh makna baru: sinar, persatuan, kilasan ide, dan catatan-catatan penting. “Bekas” yang dijejakkan tahun lalu menjadi “berkas” yang membekali tahun mendatang.

Pada hari keseimbangan pertama di tahun 2011 ini, www.salamatahari.com memberkas serangkai cerita untukmu. Ada Pak Mu’min dan berkas lidinya, ada posting yang diculik dari berkas 30 Hari Menulis asuhan Kak Maradilla, ada berkas cahaya yang dapat kau dengarkan, dan ada Indie Book Corner dengan berkas naskahnya yang mengantri untuk diterbitkan. 

Secara bunyi, konsonan “r”, “k”, dan “s” pada kata “berkas” memberi kesan renyah. Maka, sebelum angin mencuri kerenyahannya dan alot menyergap, mari tanam berkas-berkas kita di tanah gembur. Biarkan waktu menjaganya dengan kasih sayang dan kita memeliharanya dengan harapan.

Teman-teman, semoga tahun ini menjadi tahun yang baik bagi kita semua.
Semoga kita senantiasa bertukar hal baik setiap hari.

Selamat tahun baru 2011.

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea


Irwan Bajang: “Menerbitkan Buku Itu Mudah”

  
Bermula dari keinginan untuk menerbitkan bukunya sendiri, P05-01-11_14-30Irwan Bajang dibawa waktu kepada gagasan mendirikan Indie Book Corner (IBC). IBC adalah sebuah penerbitan independent di Yogyakarta yang ia kelola bersama kekasihnya, Yayas.

Pada Salamatahari edisi “Berkas” ini, Irwan Bajang membagi semangat literasinya yang menyala-nyala. Ia berharap kelak setiap penulis dapat menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. “Menerbitkan buku itu mudah,” ujar Irwan Bajang optimis.


  

Halo Mas Irwan … cerita dikit, dong, tentang awal mula berdirinya “Indie Book Corner”
Hmmm … mulainya dari mana, ya? Dari ide dulu, ya. Awalnya tahun 2006 sebenernya. Waktu itu saya lagi rajin-rajinnya menulis puisi dan ingin menerbitkannya menjadi buku. Nah, karena saya baru aja beberapa bulan di Jogja, saya sama sekali buta bagaimana menerbitkan buku. Akhirnya saya browsing internet, cari di mbah google, dan ketemu beberapa kontak penerbit. Saya tawarkan buku puisi saya ke mereka. Kok gak ada yang respon ya? Jawaban mereka sih, konon buku puisi nggak laku. Ya sudahlah, akhirnya saya bikin aja sendiri.

Caranya?
Waktu itu saya punya komputer dan printer, serta seorang temen yang pinter desain. Materi puisinya saya layout sendiri, saya edit dan print. Lalu saya potong dan jilid. Jadilah ia buku, buku pertama saya yang saya kerjakan dari menulis sampai jadi berbentuk semacam buku. Itulah buku saya pertama yang memperkenalkan saya pada dunia “buku indie”. Judulnya: Sketsa Senja.

Jadi pas itu, ya, lahir Indie Book Corner?
Belum. Tahun 2008 saya punya naskah novel dan diterbitkan di sebuah penerbit di Jogja. Setelah itu sedikit demi sedikit saya ngintip proses penerbitan buku. Dari situ saya kenal apa itu editing, proof reader, bagaimana mengkonsep cover, ilustrasi dan model kerjasama dengan distributor. Akhirnya tanggal 9 bulan 9 tahun 2009 saya bikinlah weblog Indie Book Corner (IBC) di www.indiebook.co.cc bersama Anindra Saraswati (Yayas) setelah sebelumnya mempraktekkan menerbitkan buku indie dengan beberapa teman dan sempat bekerja setahun di sebuah penerbitan di Jogja. Sejak itulah IBC resmi berdiri dan membuka layanan self publish ala buku indie. Saya mulai rajin mencari tahu percetakan yang murah dan bisa cetak sedikit. Bergerilya dari satu percetakan ke percetakan yang lain. Kebetulan juga waktu itu ada temen kos yang punya percetakan. Sekarang kita udah kerjasama dengan Quantum Printing dan punya percetakan sendiri. Cetak-mencetak sudah bukan masalah lagi bagi IBC!

Asoy! Jadi udah nerbitin buku apa aja, nih, dari taun 2009 itu?
Kami menerbitkan nyaris semua jenis buku. Naskah yang masuk ada naskah horror, komedi, cinta, novel religi, puisi perlawanan dan ada juga buku serius masalah ekonomi global, politik, bahkan tutorial dan text book bahasa Inggris. 

Yang ngebedain IBC sama penerbit lainnya?
Sangat berbeda. Terutama dalam hal bagaimana memperlakukan naskah dan penulis. Di IBC semua penulis berhak menerbitkan buku. Semua naskah bisa terbit, dan tentu saja dalam jumlah terbatas, bahkan bisa dihitung jari. Pertama kali menerbitkan, kami hanya mencetak 10 eksemplar untuk satu judul. IBC tidak meberi royalti, tapi penulis menentukan royalti dari bukunya (kalau buknya dijual).

Sebenarnya Indie Book ini bukan penerbit, tapi lebih tepatnya sebuah “gerakan perbukuan/ gerakan buku indie”. Kami mengampanyekan bagaimana buku biar mudah diproduksi, diedarkan, dibaca dan diapresisi. Fokus kami bukan di industri perbukuan itu sendiri, tapi bagaimana menghadirkan sebuah “cara” menerbitkan alternatif, di tengah pusaran dunia perbukaun yang memang tak bisa terlepas dari “kapital”. Berbicara penerbitan konvensional atau penerbitan mayor, jelas tak bisa lepas dari bagaimana menimbang untung rugi, marketable atau tidak buku yang diterbitkan. Sebab menerbitkan 1000 atau 3000 buku jelas butuh dana yang tak sedikit dan tidak ada yang mau rugi. Nah Indie Book Corner coba keluar dari mainstream tersebut. Kami bukan saja melawan mitos 1000 atau 3000 buku sebagai standar jumlah minimal cetak buku, tapi kami memotong mitos menerbitkan buku itu susah dan berbiaya tinggi.

Indie Book berusaha memberi tahu, bagaimana cara menerbitkan buku. Jadi, kalau semua orang sudah tahu bagaimana cara menerbitkan buku, bisa jadi kelak IBC sudah tidak dibutuhkan lagi. Dan kami akan bahagia sebab cita-cita kami terpenuhi: semua penulis bisa menerbitkan karyanya dalam bentuk buku.

Waduh, cita-citanya mulia sekali. Terus, nih, kalau ada temen yang mau nerbitin buku lewat IBC, syaratnya apa dan ngirim naskahnya ke mana?
Persaratannya cuma satu. Punya tulisan. Nggak ada yang lain. Lalu kirim ke kami di Pajeksan GT 1/727, Yogyakarta (untuk info lebih lengkap klik http://indiebook.co.cc/).

Nanti sistem promosi-distribusinya gimana?
Kita sudah kerjasama dengan distributor untuk persebaran buku se-Indonesai Raya. Tapi itu untuk buku yang dicetak 500 atau 1000 dan jumlah di atasnya. Kalau di bawah itu, kita titip di kafe, distro, warung makan dan pasarkan sendiri via internet.

Boleh diedit dan layout sendiri, nggak?
Kami menyediakan jasa editor, tapi kalau penulis punya temen editor bisa minta bantuan tuh dan nggak perlu pakai bantuan IBC. Naskah bisa diedit sendiri, bikin cover dan layout sendiri (atau sama tim penulis) nanti cetaknya kami bantu. Tapi Sebisa mungkin buku harus diedit. Sebab bagaimana pun, penulis pasti punya kesalahan, minimal kesalahan ejaan atau istilah. Bahkan editor sekalipun pasti ada salahnya. Kami mau, buku jebolan IBC adalah buku dengan standar mutu yang tinggi, layaknya buku keluaran penerbitan besar.

Selama tahun 2010 kemarin apa yang menarik di perjalanan IBC?
Awal tahun seperti biasa wordpress.com mengirimi email untuk para pengguna blognya. Kebetulan blog IBC kan bernaung di wordpress tuh, nah mereka mengirimi kami statistik penilaian dan memberi ratting “WOW” untuk perkembangan blog kami. Pengunjungnya banyak, banyak yang bertanya dan banyak yang kami bantu. Senang sekali membantu banyak orang. Satu lagi, 2010 kami bisa menerbitkan lebih dari 30 judul, ini angka yang lumayan besar dan mengagetkan kami sendiri. Saya aja nggak sadar kalau kami sudah membantu menerbitkan buku penulis sebanyak itu.

Cihui, selamat, ya … terus apa target di taun 2011?
Targetnya adalah membantu semakin banyak penulis menerbitkan bukunya. Kalau bisa satu minggu satu naskah terbit. Jadi setahun kita nerbitkan 48 buku minimalnya.

Amin. Semoga tercapai. Terakhir, nih. Salamatahari minggu ini kan temanya “Berkas”. Apa yang ada di pikiran Mas Irwan pas denger kata “berkas” ?
Berkas itu kalau nggak salah artinya sekumpulan cahaya, atau bisa juga sekumpulan naskah atau surat. Hhhmmm. Berkas bisa jadi saya artikan sebagai sebuah kilatan ide. Kadang ada ide yang terlintas begitu saja, bagai seberkas cahaya yang tiba-tiba muncul. Nah, berkas ide itu perlu dicatat dan dikenang, siapa tahu nanti idenya bisa muncul lagi dan terwujud jadi kenyataan.

Widiiih … pas banget, dong, sama IBC. Nggak salah, nih, Dea milih Mas Irwan Bajang dan IBC buat penyalamatahari edisi pertama taun ini.
Kalau berkas yang kaitannya dengan naskah, surat atau kertas, saya jadi kepikiran banyak naskah numpuk di IBC dan saya butuh bantuan banyak orang menyelesaikannya.

Hahaha … ayo, Teman-teman, ada yang mau bantu, nggak, tuh …?

Seberkas harapan di dunia literasi bertumbuh bersama Indie Book Corner. Semoga kelak menjadi terang yang memberkati.

Teman-teman, mari berkumpul membawa berkas, menjadi berkas, kemudian tumbuh menerbit …

Sundea
P05-01-11_16-15[1]
Mbak Yayas

Kunjungi website Indie Book Corner di http://indiebook.co.cc/

Pernahkah Kamu Mendengarkan Cahaya?


Pernahkah kamu mendengarkan cahaya? Pukul setengah lima tadi pagi, seberkas cahaya mengorek telinga saya seperti cotton bud:

Wake up, see the sunlight, through your window …
Saya menanggapinya dengan dengkuran.
“Give it smile, can you feel this …,” lanjut si pengorek yang ternyata bernama Morning Call itu.
“Haduh, masih subuh, nih. Kayaknya mataharinya masih ileran, deh. Jendelanya juga masih ngantuk, ” sahut saya tanpa membuka mata.
“Dea, telinga kamu itu jendela yang lain. Yang sekarang perlu kamu buka cuma telinga, kok …”



Karena telinga saya sudah terjaga lebih dulu, saya biarkan ia membuka dirinya lebar-lebar. Morning Call menghamburinya dengan kord-kord bright yang bersinar cerah. Diawali dengan gitar yang dinamis dan hangat, disusul denting cemerlang dan drum menyenangkan, masuklah vokal ringan seorang pemuda yang terdengar masih cukup belia. Meski artikulasinya tak terlalu jelas, saya menikmati keramahan yang memancar dari warna suaranya. 

Lucu juga. Meski diiringi koord-koord mayor sembilan yang berseri, Morning Call menghaturkan melodi-melodi yang nyaris seluruhnya pentatonis. Tanpa koord dan detak drum, lagu tersebut akan terdengar seperti lagu tradisional Jawa yang mendayu dan melankolis. Saya menemukan kesenduan dan keseruan dalam satu paket. Entah mengapa rasanya nyaman seperti angin sepoi-sepoi yang mengiringi kita bersenam pagi. 

“Eh, Morning Call, sebetulnya kamu sedang senang atau sedih, sih?”
“Apakah senang dan sedih harus selalu berdiri sendiri-sendiri?”
Saya terkesiap.

Saya duduk di sisi tempat tidur. Megerjap sejenak, kemudian memutuskan untuk meninggalkan kasur. Morning Call mengakhiri lagunya dengan nada dan pukulan drum yang menggantung. Ketika saya berhenti mendengarkan cahaya, baru saya sadari bahwa pagi itu hujan turun. Suara deras rongrongan yang sejak tadi disembunyikan cahaya Morning Call kini tak punya saingan. Mata saya yang baru terbuka pun menangkap warna mendung yang menyusup dari sela-sela jendela. 

You are my shining light … nananananana,” saya menyenandungkan sebagian kecil cahaya Morning Call sambil membuat kopi. Meski pagi itu matahari redup, saya senang-senang saja. Kadang, ketika tak bisa melihat cahaya, mendengarkan cahaya bisa menjadi pilihan.

Sambil menyeruput kopi, saya mulai menulis semacam review ini. Membukanya dengan sebuah kalimat:

“Pernahkah kamu mendengarkan cahaya?”

Sundea

daylightlogo Daylight adalah band asal Bogor yang berdiri sejak tahun 2004. Beranggotakan Avid Norman (vokal), DC (gitar dan backing vocal) , Adi (bas), dan Adi (drum). Morning Call adalah salah satu lagu mereka. Untuk mengenal mereka lebih jauh dan “mendengarkan cahaya”, klik http://www.reverbnation.com/daylighttheband




Ingin musikmu diperkenalkan dan di-review ala Salamatahari? Kirim email ke salamatahari.sundea@gmail.com atau mention @salamatahari di twitter. Jangan lupa kirim/sertakan link musikmu, ya ... ;)

Sapu Lidi Pak Mu’min


Sinar matahari pagi membelah jalan raya yang masih sepi. Di antara klakson angkot dan deru kedaraan yang melintas sekali-sekali, konsisten terdengar suara rumpun lidi yang menggesek aspal : srek … srek … srek … 



Menyapu bisa menjadi sesuatu yang sangat personal. Setiap orang mempunyai caranya sendiri-sendiri. Pagi itu, pada hari ke dua di tahun 2011, baru saya sadari bahwa selama bertahun-tahun saya mendengar gesekan sapu lidi dengan irama yang sama, ketukan yang sama, dan panjang tarikan yang sama. Konsistensi itu membuat telinga saya mengenalnya dengan baik namun luput mencatatnya. Spontan saya berlari keluar rumah. 




“Selamat tahun baru, Pak …”
“Selamat tahun baru …”
“Boleh, nggak kita ngobrol-ngobrol sambil Bapak nyapu? Saya kepingin nulis tentang Bapak …”
“Oh, boleh, boleh …”


Namanya Pak Mu’min. Sudah dua puluh enam tahun ia menjadi penyapu yang bertugas di sepanjang Jalan Siliwangi. “Dari sini saya nyapu ke Simpang, teruuuus … sampai ke Cikapundung. Mulainya dari jam 5 pagi,” papar Pak Mu’min. Laki-laki asal Cililin itu kini sudah berusia empat puluh delapan tahun. Mungkin sudah menjadi kakek. “Anak saya yang paling besar kelahiran taun 88. Sudah menikah,” ungkapnya bungah.


Sebagai seseorang yang hanya mencecap pendidikan sampai tamat Sekolah Dasar, Pak Mu’min tak punya banyak pilihan lapangan kerja. Itu sebabnya ia bersetia pada profesinya sebagai penyapu jalan. “Kalau ditanya suka-dukanya, sih, banyakan dukanya. Gaji saya kecil. Tapi suka-duka kembali kepada diri kita, bagaimana kita menyikapinya,” ujar Pak Mu’min arif. Saya tersenyum.  

Mengenai sapu lidinya, Pak Mu’min mempunyai perumpamaan menarik, “Ibaratnya orang kantoran pakai alat tulis, saya pakai sapu lidi.” “Terus Bapak pengen bilang sesuatu nggak sama sapunya?” tanya saya. “Bilang sesuatu? Gimana ngomong sama sapu lidi?” tanyanya sambil menatap sapunya kebingungan. Saya tergelak.
Suara sapu Pak Mu’min menggesek jalan raya. Sesekali berhenti ketika ia harus mengangkut sampah yang telah terkumpul atau menanggapi orang-orang lewat yang bulak-balik menanyakan jalan. Sebagai seseorang yang setiap hari bertugas di sana, Pak Mu’min tentu mengenal sepanjang jalan Siliwangi dengan sangat lekat. 

 

“Punya harapan apa di taun 2011 ini, Pak?” tanya saya. “Gaji saya naik,” jawabnya singkat, separuh berseloroh. Saya tertawa. “Bapak nama panjangnya siapa, Pak?” tanya saya lagi. “Mu’min. Itu aja,” lagi-lagi ia menjawab dengan singkat. 

Pak Mu’min adalah seseorang dengan nama yang ringkas. Masa pendidikan yang tidak panjang. Harapan sederhana. Dan tubuh yang tidak jangkung.

Tetapi “srek-srek-srek” sapunya adalah lagu panjang tentang sebuah perjalanan …

Sundea

Update Update!

Halo semua!

Setelah beberapa waktu sempat vakum, pikiran saya selalu terganggu dan terbagi dua, antara pekerjaan pribadi saya dengan dengan adanya keinginan untuk terus me-review teman-teman #30harimenulis. Setiap saya buka tumblr ini, sedikit miris rasanya karena harus menyerah karena harus menelantarkan #30harireview. Bagaimanapun juga, keinginan untuk mengapresiasi teman-teman #30harimenulis ini tetap ada. Maka, mari kita mulai kembali sedikit demi sedikit. Yang belum saya review, sabar ya!

Ini dia perkembangan dari proyek #30harimenulis:



1. Dengan bantuan Sundea Belaka, saya dan wanita unik yang selalu mengingatkan saya akan ceria-nya matahari ini sama-sama mengasuh rubrik #30harimenulis dan memberikan apresiasi berupa “Posting Pilihan” beserta hadiah dari salamatahari. Siapa saja yang menang? Hadiah apa yang diberikan? silakan kunjungi: www.salamatahari.com

2. Misi #30harimenulis ini adalah misi seumur hidup, silakan mulai kapan saja, jadi, kalau ada yang bertanya, “Kak, masih bisakah ikutan #30harimenulis?” , tentu saja bisa dong!

3. Pertemuan teman-teman #30harimenulis masih pada tahap perencanaan. Tentu saja jika ada perkembangan akan diinformasikan pada blog ini.

Tetap semangat!

-Maradilla Syachridar-


=======================================
Tentang 30 Hari Menulis

“30 hari menulis” adalah sebuah program seru yang digagas oleh Theoresia Rumthe (penyiar MGT 101.1 FM dan penulis) dan diasuh oleh Maradilla Syachridar (penyiar Sky 90.50 FM dan penulis).
Bekerja sama dengan Salamatahari, telah terpilih dua peserta yang memperoleh buku “Salamatahari 1” atau “Salamatahari #2”. Sebuah posting seputar 30 hari menulis pun hadir setiap minggu di www.salamatahari.com.

Ingin tahu dan menjadi peserta 30 hari menulis? Mari klik http://maradillasyachridar.tumblr.com/