WC Umum Bukan Milik Pak Umar

Pak Umar yang berkemeja lengan pendek, duduk di belakang meja triplek. Ia menjaga sepasang WC umum yang dibangun di dalam pasar PSPT Tebet, Jakarta. Aroma amis, pesing, kue, masakan, dan bau tubuh manusia melebur tak karuan di udara. 








“Makanya buat di WC saya beli itu supaya wangian dikit,” ujar Pak Umar sambil menunjuk pengharum ruangan yang menggantung di setiap WC.


Kendati dipelihara seperti anak, ditunggui, dibersihkan, dan disiram berkali-kali dalam sehari, WC umum itu bukan milik Pak Umar. “Ini punya Pak Haji di kampung, saya disuruh jagain,” cerita Pak Umar yang sudah lima tahun menjadi penjaga WC umum di bilangan Mampang dan Tebet.

Baginya, tak ada pengalaman yang terlalu menarik sebagai penjaga WC umum. Penghasilannya pun sekedar “ya adalah”.

“Nggak kepengen cari kerjaan lain, Pak?” tanya saya.
“Enggak, kerjaan yang di kampung ajalah.”
“Emang di kampung Bapak kerja apa?”

Mata Pak Umar lalu berbinar ketika bercerita tentang kerjanya bertani padi di desa. “Saya dari Tasik, Neng, sebulan di Jakarta, dua bulan di kampung,” katanya. Pak Umar mencintai sawah yang digarapnya, suasana berkumpul yang setiap waktu memeluknya, kampungnya yang menyenangkan, dan kegiatan bertani itu sendiri. “Di sini sih cuma buat cari-cari tambahan aja,” ia menutup kalimatnya. Sinar matanya redup lagi.

Berbagai jenis manusia keluar-masuk WC Umum. Ada yang membayar sebagaimana mestinya, ada yang tidak.

“Yang bayarnya kurang nggak ditegur, Pak?” tanya saya kepada Pak Umar.
“Ah, enggaklah, saya mah saya biarin aja.”

Selama beberapa saat saya duduk di sebelah Pak Umar. Mengamatinya bekerja sambil mencari sinar yang sempat memancar sesaat saat ia bercerita tentang bertani di Tasik. Dan sinar itu tidak terbit-terbit lagi. 

  

Ketika di WC Umum orang-orang datang untuk mengosongkan perutnya dari kotoran, Pak Umar yang berkemeja lengan pendek dan duduk di belakang meja triplek pun sepertinya telah terbiasa mengosongkan diri dari segala yang ia rindukan. Ibu kota memberi sesuatu yang sulit ditebus oleh sekedar kecintaan. Tetapi kecintaan memberi sesuatu yang tak bisa ditebus oleh ibu kota.

“Pak, makasih, ya, aku pergi dulu,” pamit saya.
“Oh, iya.”
“Aku tempelin sticker di sini boleh?”
“Boleh aja.”


Saya meninggalkan Pasar PSPT. Memutuskan untuk berjalan kaki menuju Tebet Timur. Hari masih cukup pagi, belum sampai jam sepuluh. Tetapi kebanyakan wajah-wajah yang saya temui bergerak lebih cepat daripada waktu. Beberapa terlihat berang seperti siang, sisanya lelah seperti senja.

Ibu kota adalah single parent yang mendidik anak-anaknya bekerja keras nyaris tanpa belas …


Sundea

2 komentar:

C'est le papillon mengatakan...

Semoga Pak Umar "bersinar" lagi ya, De... ToT

Sundea mengatakan...

Amiiin ...

Posting Komentar