Di Tengah-tengah Pasar

T: Di tengah-tengah pasar ada apanya?
J: Ada “s” –nya.

… dan “s” di tengah pasar mendesis seperti ular. Di antara dua huruf yang mengapit, ia aman bersembunyi dalam permainan; mempengaruhi “p” dan “a”, mengendalikan “a” dan “r”.

Tetapi “s” di tengah pasar adalah desis ular yang juga menjaga keseimbangan. Di antara dua huruf yang mengapit, ia berdiri sebagai titik setimbang. “P” dan “a” serta “a” dan “r” tak kocar-kacir ke mana-mana. Terjaga dalam sebuah makna.

Minggu ini www.salamatahari.com hadir dengan posting-posting seputar pasar. Ada garage sale “Never Say Old” yang memasarkan barang-barang lama, ada oleh-oleh foto dari Pasar Pamoyanan Bandung, ada obrolan dengan Permata Yudha perintis brand clothing Johnny Zebra yang membentuk pasarnya sendiri, dan ada kisah kecil tentang Pasar Balubur yang telah berpindah lokasi.

Teman-teman, selama bertahun-tahun hari ini (30 September), dikenang sebagai tanggal pembantaian keji G30SPKI. Namun berbagai peristiwa membuat sejarah kelam tersebut kembali digali dan dipertanyakan. Lalu bagaimanakah kita mengenang hari ini?

T:Di tengah-tengah G30SPKI ada apanya?
J: Ada “s”-nya 

Selamat hari keseimbangan, Teman-teman …
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea 

Menjenguk Pasar Balubur



Seperti binatang buas dalam kerangkeng, plang “DILARANG BERJUALAN DI LOKASI INI. BERBAHAYA” mengaum di lokasi yang sempat berjaya sebagai Pasar Balubur. Ia sendirian. Aumnya telah membunuh kehidupan berpasar yang telah berlangsung selama sekitar sepuluh tahun. Tetapi lokasi itu memang miliknya, milik PDAM. Setelah jembatan di bilangan Kebon Kembang rampung sekitar tiga bulan yang lalu, pusat perdagangan Balubur yang dulu sekali memang berlokasi di sana, harus pulang ke habitatnya.




Usai berkeliling di wilayah Pasar Balubur lama, saya melanjutkan perjalanan menuju Pasar Balubur baru. Di bawah naungan gedung klimis yang masih bau cat itu, berjajar kios-kios yang baru memulai kembali geliatnya. “Di sini penghasilan menurun, soalnya banyak pembeli yang masih canggung masuk ke sini,” ungkap Mas Ijang dari kios ATK Murah. 

Sebaliknya Pak Surya dari Bursa Biskuit. “Omset saya malah naik dua kali lipat,” ujarnya dengan wajah sumringah. Menurutnya, tempat yang bersih membuat orang-orang lebih nyaman berbelanja. “Laku apa enggak itu gimana kita. Kita harus punya jaringan sendiri, sisanya komunikasi,” kata Pak Surya. Selain itu, pria yang enggan difoto ini pun berusaha menyediakan “yang aneh-aneh” untuk mata pengunjung. Ia menghiasi tokonya dengan beragam lampu, barang-barang antik, bahkan sekedar kaleng yang dicat warna-warni. “Kita ini orang seni. Setiap minggu hiasannya kita ganti gimana senengnya kita,” kata bapak-bapak Tionghoa-Garut yang telah 25 tahun berjualan ini. 

 
Ada pula yang tetap stabil seperti sediakala. Saat mengunjungi kios ATK Yosiko yang menjadi bintang di Pasar Balubur lama, lalu lintas tetap meriah. Letaknya pun tetap di bibir pasar, seperti ditakdirkan menjadi juru bicara pasar ini.


“Pak, emang sengaja milih posisi kios di sini?” tanya saya kepada kuncen kios Yosiko yang sibuk melayani pembeli. “Iya,” sahutnya. “
“Enak di mana, Pak, di sana apa di sini?”
“Sama saja.”
“Omsetnya gimana?”
“Sama saja.”
“Pengunjungnya tambah dikit atau tambah banyak?”
“Sama saja.”
“Ada pengalaman seru, nggak, setelah pindah ke Pasar Balubur baru?”
“Apa, ya? Ya begitu saja.”
“Tau, nggak, tempat yang dulu mau dibikin jadi apa?”
“Kurang tau saya.”

Telpon Yosiko berdering. Pak kuncen mohon diri untuk mengangkat telpon. Beberapa saat kemudian, ia kembali sibuk dengan konsumen. Saya mengucapkan terima kasih, pamit, lalu beringsut meninggalkan kios Yosiko. Meninggalkan Balubur baru. Dalam hati saya berjanji untuk kembali lagi kapan-kapan.

Di tengah-tengah Pasar Balubur baru masih ada jantung yang berdenyut. Tapi transplantasi tetap butuh waktu untuk beradaptasi.

Sundea

Manusia Pamoyanan




Syahdan, di sebuah kerajaan kecil bernama Pamoyanan…
yang hidup dan yang dulunya hidup

Najwa: Puteri cantik di singasana sayuran





Biduan kerajaan
 
Puppet show

Madam dan Simbok

Kamu
  

foto dan teks: Sundea

Never Say Old to …

-Siliwangi, 24-26 September 2010-

garage sale Never Say Old


Jika kau pikir “Never Say Old” ada hubungannya dengan kisah Peter Pan dan Neverland-nya, kamu salah. Never Say Old adalah sebuah garage sale yang diadakan di Jln. Siliwangi no.1, Bandung pada akhir pekan lalu (24-27 September 2010). Never say old to your unused stuffs. Mereka masih bisa diremajakan dan menjadi “barang baru” untuk orang lain.

Diprakarsai oleh Vai yang kemudian menggalang Aul, Agi, Lenny, Nia, Nana, dan Nyowe sebagai tim, bergeraklah garage sale Nevers Say Old. Mungkin karena digarap oleh tujuh perempuan yang cantik-cantik dan modis, garage sale ini didominasi oleh baju, sepatu, dan tas. Sebagian besar masih tampak apik, bahkan ada yang baru satu kali dipakai. “Daripada numpuk di lemari,” ujar Vai. Harga pun bervariasi, mulai dari Rp 2500,00 sampai Rp 220.000,00. Itu sebabnya pengunjung garage sale ini pun sangat bervariasi adanya. Mulai dari pedagang batagor yang lewat, sampai ibu-ibu yang datang dengan mobil mewah. Gigs kecil-kecilan yang menampilkan Deugalih, Under My Pillow, Twinkle, dan banyak lagi pun memeriahkan suasana. 



Under My Pillow in action

Meski hujan turun setiap hari, pembeli tetap melimpah. Dalam tiga hari usaha ini menghasilkan sekitar Rp 6,5 juta rupiah. Di penghujung bulan September itu, ketika akhir pekan tiba, ada alternatif lain untuk jajan busana di Bandung selain factory outlet. 

Rencananya garage sale ini akan diadakan lagi. Jika ingin hadir atau menitipkan barang-barangmu, pantau terus twitternya di @NeverSayOld atau kirimkan email ke avantianggia@yahoo.com/ twitter @avantianggia.

***
Senja luruh ketika garage sale akan ditutup. Baju-baju yang bertebaran karena antusiasme pengunjung mulai dikumpulkan. Deugalih menyanyikan lagu balada yang teduh, When No One Sings This Song,

“Maybe it’s time to grow
When this song is gone …”

Para pakaian, ketika kau tak lagi dikenakan oleh pemilik lamamu, bertumbuhlah bersama pemilikmu yang baru …

Sundea

Nge-Rock-nya Permata Yudha dalam Ber-Johnny Zebra

yudha 

Di tengah maraknya selera pasar, terselip Permata Yudha. Lelaki asal Padang yang kini berdomisili di Jakarta itu justru ingin menciptakan pasarnya sendiri. Merintis clothing line Johnny Zebra, bersetia pada idealisme, sekaligus berdagang. 

Inilah obrolan Sundea dengan pria Taurus yang sempat tinggal di Bali selama beberapa tahun tersebut …









Halo, Yudh … cerita dikit, dong, tentang Johnny Zebra-nya. Terus kenapa, sih, namanya musti “Johnny Zebra”?
Sebelumnya gua pernah denger nama “JONI ZEBRA”. Kebetulan itu nama bandnya temen gue, Si Dede (salah satu penggerak website wastedrockers). Johnny Zebra itu mmm … apa, ya? Nama Johnny itu adalah nama yang sangat umum, dari orang-orang biasa sampe orang-orang terkenal yang jadi legend juga ada yang namanya Johnny. Mulai dari Johnny Cash, Johnny Ramone, sebut aja Johnny Knoxville, Johnny Indo, dan Johnny Walker. Dan Zebra … menurut Wikipedia artinya Wild Ass, asal kata Zevra. Jadi kesimpulannya, Johnny Zebra itu famous, wild, urakan, dan … simple layaknya seorang rocker sejati. Abis itu pacar gue buat Johnny Zebra yang woman line-nya, namanya Lily Zebra.

Wow … sooo … sweet, hehehehe …sampai sejauh ini, gimana prospeknya?
Setaun lebih keuntungannya sudah sangat memuaskan dan sudah banyak yang kenal brand ini di dalam maupun luar negeri. Prospeknya juga positif semua. Itu udah lebih dari cukup untuk yakin dengan prospek brand ini ke depannya.

Terus gimana dengan selera pasar?
Wah, ga tau, tuh. Mungkin selera pasar itu seperti yang dipake penonton di acara DAHSYAT atau anak-anak band emo. Tapi gue, sih, berusaha membentuk “pasar” gue sendiri. Biarpun kecil dan terbatas tapi itu lebih menyenangkan. Menurut gue identitas sebuah brand itu lebih penting daripada sebuah pasar. Sadly, pasar memiliki kemampuan untuk mengubah sebuah identitas. I won’t let it happen on me …

Nah, terus kalo pendapat lo tentang “s” di tengah kata “pasar”?
Kalo diganti “c” jadi “pacar”. Lebih enak nguber-nguber “pacar” daripada “pasar”.

Hahahaha … sekarang masalah kesukuan nih. Lu kan orang Padang. Katanya rata-rata orang Padang udah punya darah berdagang dari sononya. Menurut lo gimana?
Hahaha … banyak, sih, yang bilang gitu, tapi … nggaklah. Karena tradisi merantaunya kali, yah, dan rata-rata mereka yang merantau nggak bawa bekal pendidikan apa-apa kecuali modal usaha. Jadi … ya udah, mau ga mau modalnya itu harus diputerin dan yang paling memungkinkan jadi pedagang. Abis gue belum pernah nemuin orang yang merantau untuk jadi arsitek, atau dokter, atau jadi dokter spesialis kelamin.

Hehehehe … sekarang pertanyaan yang agak mengkol. Kan Salamatahari edisi ini terbitnya persis tanggal 30 September. Apa pendapat lu tentang G30SPKI?
G30S PKI ya.. yang pasti, gue selalu merasa ada sesuatu yang aneh dengan sejarah kita yang satu ini, seperti ada suatu skenario yang besar di belakangnya. Apa dan siapa itu? Gue ga terlalu perduli sih.. satu-satunya yang gue sesalkan adalah diskriminasi terhadap mereka keluarga para anggota PKI dangan label “X- PKI” secara langsung maupun tidak. Bodoh aja sih, kaya memelihara borok sendiri, hehehe…

Ok. Sekarang balik lagi ke Johnny Zebra. Silakan promosi seabis-abisnya di sini …
K’lo lo ngaku yang paling gaul, funky, keren dan eksisss… JANGAN BELI JOHNNY ZEBRA!!! =D
Untuk saat ini Johnny Zebra bisa didapetin di :
Bali : Tenfour shop, seminyak.
Jakarta : Noin Brand, Tebet / Crooz, duren tiga .
follow us on twitter @JohnnyZebra_
Facebook, Johnny Zebra
See u there =)

Sip. Sukses, ya, Yudh, semoga zebranya berkembang biak membabi buta … hehehe …
Bagaimana, Teman-teman? Tertarik men-Johnny Zebra? Karena ini edisi “pasar”, Salamatahari menghadirkan sedikit gambar produknya untuk kau intip …:

daganganyudha
Sundea

“Semoga Cepat Sembuh …”

Serbuan hujan dan ketidakpastian cuaca membawa berbagai penyakit; mulai dari sekedar kemalasan yang mengganggu kinerja, demam, diare, sampai masalah kulit. Lalu di tengah musim ini, ucapan “semoga cepat sembuh” dan sejenisnya berkeliaran di mana-mana; di antara teman-teman saat kita bertemu, di telpon dan sms, di internet, di radio dan televisi, bahkan di iklan-iklan.

Ucapan “semoga cepat sembuh” seperti mantra baik yang menggebah penyakit dengan caranya sendiri. Di dalamnya terramu perhatian, kasih sayang, dan doa. Mereka yang berlalu-lalang di semesta bertukar pengaruh seperti prinsip virus dalam imunisasi. 

Minggu ini Salamatahari hadir dengan posting-posting yang berkaitan dengan ucapan ini. Ada virus 30 hari menulis yang bertujuan menyehatkan kembali semangat blogging, ada lagu Rain on Meadow yang merawatmu dengan nada-nada, ada kelinci gula-gula yang menyangka dirinya terkena diabetes, dan ada resep kulit bakpao, jajanan nikmat yang kerap hadir di seputar rumah sakit dan apotek. 

Pada musim ini, ketika tubuh kita mulai lemban, tebar mantra baik ini ke mana-mana:

“Semoga cepat sembuh, jaga kesehatanmu …”

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea

Virus 30 Hari Menulis untuk Selamanya Asuhan Kak Maradilla Syachridar

Dalam beberapa lingkar jejaring twitter, belakangan hastag 30harimenulis marak beredar. Pada suatu Senin siang yang menyenangkan, Sundea mengobrol dengan “orangtua” program menarik ini; Maradilla Syachridar sang ibu yang membesarkan dan merawat serta Theoresia Rumthe, “ayah” yang menaburkan benihnya. 

Cerita apa yang ada dalam #30harimenulis ini ?



Baiklah. Pertanyaan paling mendasar. Gimana awalnya ada 30 hari menulis ini?
Dilla: Awal-awalnya tuh Si Theo. Kan dia bikin misi kecil-kecilan, “30 hari menulis”. Pas diliat-liat, kayaknya seru juga. Pertamanya Theo sama Ginna (Ginna Finalis, penyiar Sky FM), terus baru aku. 

Theo: Iya, awalnya bertiga doang sambil saling memotivasi di kantor (Sky FM), ‘Ayo, Gin, kamu juga bisa …’, ‘Ayo, The, kamu juga bisa …’ , ‘Ayo Dilla, kamu juga bisa …’.

Sayangnya, Theo dan Ginna lalu berhenti di tengah jalan karena kesibukan masing-masing. Tetapi kini Theo memulai kembali perjalanannya. Silakan cek blognya di www.perempuansore.blogspot.com. Kali ini misinya adalah 30 hari menulis menjelang hari ulangtahunnya … ;)

Terus nyebarnya gimana?
Dilla: Setelah Ginna sama Theo, angkatan pertama-pertama tuh ada Dimas Ario (musisi dan penulis), Tara, Senny. Karena kita cuma berempat, jadi saling taulah perkembangannya. Terus Dimas ngajakin Erick Deathrockstar. Akhirnya yang ikut makin banyak. Ada Decil (penyiar Oz), Risa Sarasvati, Dina (Homogenic). Nah, terus pada suatu kali, dalam satu hari, Decil, Dina, sama Risa barengan promosiin #30harimenulis ‘Ayo, Teman-teman, ikutan 30 hari menulis, ketentuannya tanya sama Dilla …’. Terus orang mulai tanya-tanya sama aku. Terus aku posting ketentuannya di tumblr soalnya kan capek ngulang-ngulang. Yang ikut makin lama makin banyak. Dimas juga makin berhasil ngajak orang-orang di komunitas musik, misalnya Felix Daas. 

Wow … seru banget, ya … dari peserta-peserta yang ada, yang mana yang seru?
Ada satu kayak geng gitu. Kalau abis posting, mereka mention-nya orang yang itu-itu lagi: Samdputra, Aldy_Aldy, Byusyem … mereka sama, lagi, postingnya tuh fiksi. Nah dari antara mereka, Samdputra ini yang paling disenengin. Dia sampe sempet bilang, ‘Aku mau bikin buku sesudah ini’. Geng ini kalo abis posting twitnya juga lucu, ‘Telah Terbit …’

Decil juga bikin penasaran. Katanya 30 hari menulis ini sesuai sama teaser dia. Penasaran juga jadinya dia lagi nyiapin apa …

Terus sebenernya 30 hari menulis ini misinya apa?
Dilla: Apa, ya ? Sebenernya aku kaget juga ini bisa mewabah. Pas bikin nggak ada pikiran : Dengan ini gua harus … apa, gitu. Apa, ya, The ? (menoleh ke arah Theo)

Theo: Gua malah awalnya buat sendiri aja.

Dilla : Sebenernya… 30 hari menulis ini pengen mengembalikan semangat orang buat blogging aja. Gua sedih waktu Raditya Dika pernah ngetwit, minta maaf kalo dia jarang posting karena udah punya twitter. Padahal kan tetep aja beda. 

Rencananya 30 hari menulis ini mau dibawa ke mana, Dill, nanti?
Dilla: Ng … nggak, sih, nggak mau dibawa ke mana-mana. Ini cuma misi aja. Mungkin nanti ada yang nerusin lagi. Moga-moga aja misi ini nggak akan ditinggalin, terus-terusan aja ada yang mulai.

Theo: Nggak, kayaknya nggak akan ilang. Orang bisa aja ngelanjutin dengan cara yang macem-macem, kok …
Nha, The, ayo, sebagai bapak yang menaburkan benih, lu harus bertanggung jawab juga, nih, melanjutkan misi ini … hahahaha ….

Seperti prinsip imunisasi, virus 30 hari menulis datang untuk membunuh virus-virus yang berbahaya bagi kesehatan; virus menulis pendek di twitter yang mengalahkan stamina menulis panjang, virus kemalasan, virus tidak teguh memegang komitmen … dan dalam lingkar pertemanan yang memeluk kita hangat-hangat, virus ini jadi bekerja secara menyenangkan.

Pada suatu hari Dilla menge-twit, “Now everyone can be a writer #30harimenulis”. Seperti virus pun twit ini segera menyebar di-RT tweeps; menularkan sebuah semangat yang akan menyehatkanmu. Nah, Teman-teman, ingin ikut menjangkit dan terjangkit virus ini? Silakan klik maradillasyachridar.tumblr.com

Mari bergabung bersama 30 hari menulis. Akan ada hadiah buku Salamatahari bagi beberapa teman yang berdedikasi … ;)

Sundea

Rain on Meadow yang Merawatmu

Di sela lagu Rain on Meadow, gemuruh guntur dan gerisik hujan hadir seperti gema musim ini. Ia mengingatkan kita pada dingin dan rusuh, namun kemudian mentramkan kita dengan nadanya yang hangat. Di tengah demam akibat cuaca, Rain on Meadow adalah lagu yang menjadi segala hal yang menyamankan. Obat penurun panas, kompres, minyak kayu putih, jendela kamar, teh manis hangat, roti bakar lapis mentega, dan sahabat yang senantiasa menemani di sisi tempat tidur sambil menggenggam tanganmu.

 Dibuka dengan not sol dan mi yang bergantian menjaga ritme, memagari kita dari suara hujan yang seperti berusaha menerobos masuk, Rain on Meadow memperkenalkan diri. Selanjutnya mengalun melodi mayor cantik sahaja yang mudah diingat dan berkesan baik hati, dimainkan pada oktaf yang lebih rendah daripada sang pagar penjaga ritme.

“Saya teh manis hangat, silakan diminum,” kata melodi itu. Saya pun meneguknya. Manisnya memulihkan energi, hangatnya menetap di perut dan hati.

Selanjtunya, melodi cantik dan sahaja itu pindah ke oktaf yang lebih tinggi, menjajari pagar ritme. Ketika suara guntur menggelegar, ia seperti jendela yang ditutup rapat-rapat.

“Jangan khawatir, angin tidak akan mengganggumu, petir juga tidak akan membuatmu takut lagi. Pagar menjagamu dari luar. Pada lapis berikutnya, sayalah yang menjagamu,” kata melodi itu. Saya merasa aman dan hangat. Tak hanya angin, suara petir yang sambar menyambar pun jadi teredam.
Bridge Rain on Meadow hadir seperti perhatian dan nasehat: demam yang diakibatkan deraan musim hujan merajalela. Setiap orang perlu melindungi diri dengan makanan bernutrisi, multivitamin, jaket, dan pikiran positif. Namun jika kita terlanjur terserang demam, Rain on Meadow akan duduk di sisi tempat tidur, merawat kita dengan nada-nada yang dapat menjadi segalanya.

Lalu melodi cantik dan sahaja itu kembali mengalun. Merapat pada kita. Memagari kita dari gemuruh guntur dan gerisik hujan. Kita pun merasa akan segera sembuh dan siap melawan ketidakmenentuan musim.

Melihat mata kita telah kembali berbinar sehat Rain on Meadow mohon diri. Perlahan ia memungut pagar-pagarnya, lalu membiarkan kita kembali berlari-lari ke padang rumput dan menciptakan nyanyian kita sendiri.
Suara tawa yang sayup tetap tinggal. Mungkin itu tawa kamu dan saya …

Sundea


Lagu Rain on Meadow diciptakan oleh Tesla Manaf Efendi, musisi muda berbakat yang lahir di Bandung, 29 Agustus 1987. Belajar musik klasik sejak berusia 9 tahun dan belajar musik jazz di usia 19 tahun. Tesla sempat membuat proyek kolaborasi dengan pemusik karinding, membawakan musik etnik dan world music. Kini, bersama G/E/T dan Grace & Tesla, Tesla sedang mempersiapkan album. Mari kita doakan, Teman-teman … =)

Kelinci Gula-gula

“Tupai, belakangan ini aku gampang lelah dan selalu lapar dan haus. Luka-lukaku juga susah keringnya. Kira-kira aku kenapa, ya ?”
“Sepertinya kamu kena diabetes, Kelinci …”

 Diabetes. Bisa jadi. Si Kelinci selalu makan yang manis-manis. Setiap hari ia pergi ke kota, mampir ke toko dan restoran yang menjual makanan manis, menghibur diri dengan acara “Gula-gula” asuhan chef Bara di televisi, lalu pulang ke hutan untuk makan wortel. “Aku suka wortel karena wortel sayur yang manis,” begitu kata Si Kelinci selalu.

Dan kini ia terkena diabetes. 

“Aku harus bagaimana, dong?” tanya Si Kelinci clueless. “Seharusnya kamu pergi ke dokter. Setidaknya, bedietlah. Jangan makan gula lagi, makan sayur, dan banyak-banyak olahraga …”

Sejak saat itu Si Kelinci selalu makan sayur-sayuran. Setiap hari ia pergi ke pasar, berpura-pura tak melihat kios kue, selalu mampir membeli sayuran, dan berusaha menghibur diri dengan acara senam aerobik di televisi. Setelah itu ia pulang ke hutan dan minum air putih sebelum tidur. 

“Bagaimana? Sudah merasa lebih sehat?” tanya Si Tupai. “Mmm …,” Si Kelinci mencoba mengenali tubuhnya sendiri, “aku tidak tahu. Aku jadi bingung yang mana sehat, yang mana sakit …”

Pada suatu hari, seorang mahasiswa Kedokteran Hewan kerja praktek ke hutan. Ia memeriksa semua hewan, termasuk Si Kelinci. Setelah melakukan beberapa tes, Si Mahasiswa mengerutkan kening.

“Aku diabetes, ya, Kak?” tebak Si Keilinci. “Oh … ng … di tubuh kamu, gula memang punya potensi jadi tinggi,” sahut Kak Dokter. Melihat Si Kelinci lemas, Kak Dokter segera menambahkan, “tapi sebagai pohon gula, bukan diabetes”. 

Kuping Si Kelinci menegak. “Tapi, Kak, kenapa waktu itu lukaku susah kering? Kenapa aku selalu lapar, haus, dan lelah? Itu semua kan gejala diabetes,” berondong Si Kelinci masih tidak percaya. “Luka kamu susah kering karena pohon gula ditubuhmu berusaha mencari jalan keluar. Kamu selalu lapar dan haus karena Si Pohon sedang dalam masa pertumbuhan. Jangan khawatir kamu baik-baik saja. Kamu boleh terus makan yang manis-manis sambil olahraga teratur. Untuk sayur, saya rasa wortel dan buncis yang manis adalah pilihan yang tepat …” Kelinci sumringah cerah. Pohon gula di tubuhnya bereaksi menyambut harapan hidup.

Sejak saat itu, bersama telinga kelinci yang meninggi, tumbuh pohon gula. Ia subur berbuah makanan manis yang rekah secara random: donat, cokelat, kue gemblong, manisan … apaaa … saja sesuai bibitnya. Siapapun boleh memetiknya secara merdeka. Si Kelinci tak pernah takut kehabisan karena tahu makanan manis di pohonnya pasti akan berbuah lagi, lagi, dan lagi. 

Pohon gula tumbuh tanpa rasa takut, menembus awan-awan, menjalar ke istana khayangan.
“Wah, sudah berbuah!”’ sorak pangeran khayangan.
“Sekarang kamu lihat sendiri kalau kelinci yang aku nyanyi-nyanyikan memang nyata ada.”
“Aku tahu. Sejak menyamar menjadi dokter dan bertemu dengannya secara langsung aku sudah percaya,” kata pangeran khayangan sambil memetik sepotong donat.

Teman-teman, tahukah kamu kalau setiap hari Cicak Oeswoyo yang merayap di dinding istana selalu menyanyi,

Kelinciku, kelinciku, kau manis sekali …

… dan kali itu, telinga Si Kelinci yang sudah tumbuh menjadi pohon dapat mendengarnya sendiri …

Sundea

Membuat Kulit Bakpao

Bakpao adalah jajanan yang kerap bersisian dengan apotek dan rumah sakit. “Saya pernah jualan di deket outlet, nggak berapa laku. Deket mall juga,” ujar Mas Dede, penjual bakpao yang senantiasa berjualan di seputar Kimia Farma, Dago. 

Di dalam bahasa China, kata “pao” dalam bakpao berarti “bungkus”. Ia yang disantap si sakit dan penjaganya membungkus ucapan “semoga cepat sembuh, jaga kesehatanmu” dalam kulitnya yang lembut dan empuk. Khusus di Salamatahari edisi kali ini, mari kita membuat kulit bakpao =D

Bahan:

250 gr tepung terigu
1 sendok teh ragi instant
1 sendok makan gula pasir
150 gram air
50 gram tepung tang (semacam tepung kanji)
25 gram bakpao powder
25 gram mentega putih
100 gram gula halus
250 gram tepung terigu
25 gram minyak goreng.

Cara Membuat:


  • Campur semua bahan kering. Aduk sampai rata, kemudian diamkan selama satu jam.


  • Masukkan gula halus dan bakpao powder dan aduk rata.


  • Masukkan tepung terigu dan aduk hingga tidak lengket.


  • Masukkan mentega putih dan minyak goreng, lalu uleni, kemudian tutupi dengan plastik selama sepuluh menit.


  • Bentuk adonan memanjang dan timbang hingga sekitar 30 gram/kulit.


  • Bulatkan adonan kemudian diamkan selama 15 menit sambil ditutup dengan lap basah (bersih, ya, jangan kain pel atau sejenisnya …)


  • Pipihkan adonan kulit bakpao dengan tangan, kemudian gilas ujung-ujungnya dengan rolling pin. Usahakan bentuknya tetap tebal di tengah.


  • Taruh bakpao di atas kertas roti dan diamkan selama satu jam hingga mengembang.


  • Didihkan air dalam dandang kemudian kukus selama 15 menit.
Mengapa hanya kulit bakpao? Karena “mantra” yang tersimpan dalam sepotong bakpao sepenuhnya milikmu. Ciptakan sesuatu yang paling magis ketika mengisi “pao” yang membungkus ucapanmu.

Nah, Teman-teman, silakan mencoba membuat kulit dan mengarang isinya … 

Sundea


Resep dicomot dari berbagai sumber

Super Hero

Super Hero kerap bersembunyi dalam sosok yang sederhana. Superman dalam Clark Kent yang pemalu, Sailor Moon dalam Usagi Tsukino yang cengeng dan ceroboh, remaja puteri biasa dalam Saras 008, tokoh agama besar seperti Nabi Muhammad SAW yang tak dapat membaca atau Yesus Kristus yang tumbuh di sebuah dusun sebagai anak tukang kayu.

Seperti lampu maha terang yang mampu berpendar menjangkau segalanya, kekuatan super hero membutuhkan kap. Ia yang menjaga kita diam-diam pun butuh penyamaran yang menudungi rahasia mereka. Dengan begitu mereka dapat mencintai kita tanpa jarak, melindungi kita dari tempat yang cukup dekat, tanpa harus membunuh kita dengan silaunya. 

Minggu ini www.salamatahari.com hadir dengan para super hero yang bersemayam dalam sosok-sosok sederhana. Ada J.S Badudu sepuh Bahasa Indonesia yang kini menikmati hari tuanya, bola shocking pink yang diam-diam sering menggelundung ke kolong meja kerja, wafer Super…man yang merentang masa, dan para makhluk gaib yang menjelma manusia biasa dalam komik Satu Atap.

Teman-teman, tengok sekelilingmu. Dalam sosok yang paling kecil, bisa jadi bersembunyi Super Hero yang paling besar …

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea 


Jika J.S Badudu Membaca Salamatahari …?

fotonyapopa Pada bahu lelaki berusia 84 tahun ini bersandar Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kini ia yang telah mempunyai 9 orang anak, 21 cucu, dan cicit itu menikmati hari tuanya bersama keluarga di Bandung. Meski pendengarannya mulai terganggu dan sudah lupa ini dan itu, kelekatannya dengan Bahasa Indonesia membuatnya masih cukup teliti mencermati teks. “Kalau mau wawancara ditulis aja, Kak, kalau ngobrol kayaknya udah susah,” kata Ananda Badudu, salah satu cucunya.

Maka melalui Nanda, Sundea menitipkan pertanyaan wawancara dan sebuah buku Salamatahari untuk Pak Jusuf Sjarif Badudu yang akrab dipanggil Popa oleh cucu-cucunya. Di tengah sebuah acara keluarga, Tante Eka, puteri sulung Popa membantu sang ayah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Dea.

Terstruktur. Baku. Padat. Jelas. Sungguh J.S Badudu adanya.

Pop, kenapa Popa memilih Bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia ?


Sebenarnya pada walnya saya ingin kuliah di bidang Ilmu Pasti, matematika. Saya senang ilmu pasti dan nilai saya selalu bagus. Tetapi ketika saya mendaftar, permintaan saya ditolak. Katanya Bidang Ilmu Pasti sudah penuh. Sebulan kemudian, saya menghadap lagi. Mereka menawarkan kepada saya Bidang Ilmu Bahasa Indonesia karena saya sudah mengajar Bahasa Indonesia di sekolah dan kebetulan bagian itu masih agak kosong. Meskipun terpaksa, yang disodorkan kepada saya itu saya terima juga.

Wah … kalau terpaksa, kok bisa terus berdedikasi?
Karena saya selalu ingin menjadi yang terbaik dan memberi yang terbaik dalam menjalankan segala sesuatu. Dari kelas 1 SD sampai lulus kuliah, saya selalu menjadi nomor satu. Saya juga pintar mengajar. Saya ingin dapat mengajarkan Bahasa Indonesia dengan menyenangkan. 

J.S Badudu telah mengajar sejak berusia 15, 5 tahun. Mengajar adalah passion-nya. Selama wawancara berlangsung, berulang kali ia mengatakan “Saya ini pintar mengajar” dan terbukti. Hampir setiap orang yang pernah diajar olehnya mendapat kesan mendalam.

Selain kepada Tuhan, kepada siapa Popa merasa paling berterima kasih dalam hidup?
Kepada Ibu, Mama Pano, karena dia adalah ibu yang telah melahirkan dan surga ada di telapak kaki ibu. 

Ayah J.S Badudu meninggal ketika J.S Badudu berusia 16 tahun. Mama Pano kemudian membesarkan sendiri kelima anaknya.

Baiklah. Pindah topik. Katanya beberapa wahana di Dunia Fantasi Popa yang memberi nama, ya ? Bagaimana awalnya, Pop?
Ya. Waktu itu saya diminta oleh Ciputra untuk memberi nama wahana di Dunia Fantasi.

Apa saja nama wahana yang masih Popa ingat dan apa artinya?
Baku Toki artinya saling bertabrakan (bom-bom car-red). Ubangga-bangga artinya yang bengkak (ini wahana yang mana, ya?-red). Selebihnya saya lupa. 

Tampak J.S Badudu sudah betul-betul lupa mengenai penamaan wahana di Dunia Fantasi. Padahal ada banyak wahana di Dunia Fantasi yang mendapat anugerah nama dari beliau.

Apa pendapat Popa mengenai Bahasa Indonesia yang berkembang sekarang ini?
*bingung*

Bahasa Prokem ?
Oh, bahasa prokem, sih, oke-oke saja, tapi kalau menulis harus menggunakan bahasa yang baku.

O ow … warning, nih … 

Terima kasih karena udah ngejaga Bahasa Indoneisa selama ini … (tertulis di daftar pertanyaan Dea)
Haha … ini seharusnya “menjaga”.

*DANG*

J.S Badudu membulak-balik halaman Salamatahari #2 yang diberikan Dea kepadanya. Entah apa yang ada di pikirannya ketika membaca kalimat-kalimat yang jauh dari “baku” bahkan lebih dekat dengan “baku toki” di sana.

Akhir kata, semoga J.S Badudu tetap sehat dan dirahmati kasih sayang. Teriring doa dari kami dan … sekali lagi terima kasih karena telah “menjaga” Bahasa Indonesia selama ini … ;)

Sundea

Foto: Nadia Badudu

Terima kasih untuk Tante Eka, Ananda dan Nadia Badudu, dan my sister Vai.

Seluruh Jagat di Bawah Satu Atap

Judul: Satu Atap 1 dan Satu Atap 2
Oleh: Azisa Noor
Penerbit : m&c!
Harga: Rp 16.500,00


“Hai, kalian dari Jepang, ya ?” sapa saya pada Satu Atap bersaudara. “Bukan, kami aseliii dari Bandung,” sahut Satu Atap 2. “Yah … mungkin ada keturunan Jepang sedikit, sih, tapi pada dasarnya kami komik Indonesia. Komik Bandung,” koreksi sang kakak, Satu Atap 1. Ada kebanggaan di nada suaranya. “Yang putih-putih dan sipit tidak selalu dari Jepang, lho. Kami dari Jawa Barat kan putih-putih juga,” timpal Satu Atap 2. “Tidak percaya? Silakan kenali kami … ,” sambung Satu Atap 1. Saya tersenyum pada dua komik lincah dan ceria itu. Tanpa basa-basi lagi saya berkenalan dengan kakak beradik yang sambung menyambung cerita itu.




Alkisah, dalam sebuah kos di Jalan Aceh Bandung (baiklah. Sekarang saya percaya kakak beradik ini berasal dari Bandung), tinggallah makhluk-makhluk gaib yang menyamar menjadi manusia biasa. Ada Rangga si ganteng yang setengah setan, Maya peri hutan yang genit, Erik si putra duyung, dan lain-lain. Entah bagaimana ceritanya, nenek Putri yang manusia biasa dapat mendamparkan cucunya ke kos tersebut. 

Berbagai cerita menarik terjadi. Mulai dari datangnya Rana, kakak perempuan Rangga yang berprofesi sebagai pemburu setan (Satu Atap 1) sampai upaya menggagalkan pemberangusan kawasan Babakan Siliwangi (Satu Atap 2). Makhluk-makhluk gaib pun tak lepas dari kisah cinta. Ada ser-seran absurd ala Rangga dan Putri (Satu Atap 1-2), Erik si pemalu dan penakut yang tiba-tiba mampu menyelamatkan Hana, kakak kelas yang ditaksirnya diam-diam (Satu Atap 2), serta si genit Maya yang mati kutu ketika berjumpa Dipta, cinta masa kanak-kanaknya semasa di Kalimantan (Satu Atap 2).

Seluruh kisah ini sepertinya bermuara pada pesan “kita tak pernah sendiri” dan “berdamailah dengan perbedaan”. Kedua pesan tersebut sungguh relevan dengan negeri kita dan disampaikan secara khas Indonesia oleh kedua komik kakak beradik ini. Meski selintas lalu Satu Atap masih terlihat kejepang-jepangan, ada nafas nasionalistik yang ingin bertiup dan menularkan nyawa pada komik-komik Indonesia. Para komikus di Indonesia tidak sendiri. Berdamailah dengan perbedaan lalu bangkitlah untuk terbit sebagai diri sendiri. Tahu-tahu saya jadi terharu.

“Dea, kamu tahu, nggak kalau makhluk gaib seperti di Satu Atap lumayan banyak di Bandung?” Satu Atap 1 membisikkan rahasia. “Enggak, sih, tapi saya percaya saja,” sahut saya. “Kamu tahu nggak kalau sebetulnya kamu ….,” Satu Atap 2 tidak melanjutkan kalimatnya. “Kalau saya apa?” tanya saya tegang. “Kalau kamu …, ya itu,” sahut Satu Atap 2 dengan senyum jahilnya. “Saya apa, sih?” saya jadi penasaran.

Barangkali jawabannya ada pada adik-adik mereka yang akan lahir nanti. Satu Atap 1 dan Satu Atap 2 belum berakhir, para makhluk gaib ini masih menyimpan banyak rahasia. 

Melalui tutur komik, Satu Atap 1 dan Satu Atap 2 masih berjuang menghembuskan nyawa bagi komik Indonesia.

Psst teman-teman, tahukah kamu kalau kamu ….

Sundea

Superstar, Super …man!

Saat memutuskan mengangkat tema “Super Hero” untuk www.salamatahari.com edisi ini, saya langsung teringat pada wafer Superman. Segeralah saya mencari informasi tentang sejarah wafer klasik ini di internet ternyata … agak nihil. Ia tidak mempunyai situs resmi. Sebagai salah satu produk yang dikeluarkan Mayora, ia bahkan tidak terdaftar dalam mesin pencari produk Mayora. Tetapi wafer murah meriah ini banyak diceritakan di blog-blog pribadi. Meski sempat bernama “Superstar”, kini berganti nama menjadi “Super …man!”, serta selamanya populer sebagai “Wafer Superman” makanan ringan ini jauh dari kesan glamour. Ia justru tinggal dalam kenangan-kenangan sederhana yang dekat dengan keseharian.

image001




Wafer Superman dikenang sebagai bekal sekolah, cokelat dengan rasa susu yang pas, jajanan murah meriah yang sesuai dengan kantong anak-anak, penganan yang wajib dibawa kala Ospek, bahkan ada salah seorang blogger yang ketika kecil punya cara sendiri menikmati wafer ini: menjilat-jilat sisa cokelat yang menempel di sisi dalam bungkus wafer. Ada pula blogger yang secara sentimentil bercerita mengenai temannya yang membawa oleh-oleh wafer Superman. “Supaya Luna tahu makanan emaknya waktu kecil,” kata sang teman.

Meski disebut-sebut tak lagi senikmat dulu, wafer Superman terus berjuang merentang masa. Dan meski perubahan desain bungkusnya tidak mendapat sambutan yang cukup hangat, ia tetap dibeli oleh orang-orang yang rindu bernostalgia. Saya sendiri akhirnya membeli wafer ini dan mendapati … sesungguhnya tidak terlalu banyak yang berubah dengan rasanya. Mungkin kenanganlah yang hadir secara ekstrim dengan pemanis buatan di lidah kita karena memang seperti itulah cara kenangan manis melanjutkan hidupnya …

 

Sejak memutuskan untuk menulis tentang wafer Superman, saya memasuki grup facebook “Wafer Cokelat Superman” dan bertanya pada forum “ada yang tahu sejarah wafer superman?” Hingga tulisan ini ditulis, tidak ada yang merespon.

Saya lalu teringat pada sebuah kutipan dalam film Big Fish, The biggest fish in the river gets that way by never being caught …


Sejarah wafer superman tidak tertangkap. Ia tinggal dalam ingatan kita sebagai sesuatu yang diindera dengan persepsi, diceritakan sebagai kenangan personal, dan kerap dinikmati secara sentimental. Superhero yang berpose di di bungkus wafer sebetulnya selalu terbang ke langit tak terbatas. 

Lalu … apa yang kau ingat mengenai wafer ini ? Sejauh apa sang Superstar, Super … man!, Superman menerbangkanmu … ?

Sundea

gambar wafer Superstar diambil dari sini

Misteri Bola Merah Muda

“Meratiin, nggak, kalau yang ada di kolong selalu bola yang merah muda?” tanya Dea sambil mungut bola merah muda di kolong meja kerja API, pre-school tempat Dea ngajar. “Masa’, ya?” tanggep Miss Eka, guru yang ngajar di API juga. “Iya. Rasanya setiap mungut bola dari kolong sini, yang aku pungut pasti bola merah muda …”


Dea ngebuktiin hipotesa Dea. Setiap beberes, Dea selalu ngecek kolong dan hampirrr … setiap waktu bola merah muda ada di situ. Agak aneh. Ada banyak bola warna-warni di kolam bola. Jumlahnya juga kurang lebih sama. Mereka keaduk-aduk random di kolam. Tapi kenapa cuma si bola merah muda yang suka sekali main ke kolong meja?

Pada suatu hari menjelang libur, si bola merah mudah kembali nggelundung diem-diem ke tempat favoritnya. “Tuh, kan, yang di bawah kolong dia lagi!” tunjuk Dea sebelum mungut si bola. Jadi kali itu Dea ngambil kamera, motret si bola, sebelum akhirnya mulangin bola merah muda itu ke haribaan kolam karet. 

Begitu sampe di rumah Dea ngamatin foto bola di kolong dan … oh, ya ampun … dia keliatan mencolok sekali. Ruang yang dibingkai kamera bikin suasana kolong keliatan lebih jelas; item-putih penuh serabut-serabut kabel yang musingin. Bola merah muda tau, makanya dia suka sekali main ke sana untuk ngasih warna yang kontras, biar kolong keliatan sedikit lebih ceria dan nggak tegang-tegang amat.

'
Hmmm … selain itu … warna murah muda bola punya nama yang lebih spesifik SHOCKING PINK. Mungkin karena itulah dia suka dateng ke tempat-tempat di mana warnanya bisa ngasih kejutan.
Kalo besok-besok Dea nemuin bola shocking pink itu di kolong meja, Dea nggak akan tanya-tanya lagi. Dea udah tau kenapa dia selalu main ke sana ;)

Sundea

Think Black*


Tuhan yang hitam tersebar di mana-mana. Melayang-layang di jalan, menantimu di pasar-pasar, menjadi gada-gada di perkebunan, menenteng tajil, menyembunyikan pembalut yang dibuang ke tong sampah, dan menjaga kepalamu dari air hujan. Ia yang hitam terampil meyerap silau dan pandai menyimpan rahasia. Tuhan hitam mengajarkan pada saya bahwa kesucian tak terbatas warna.

Minggu ini www.salamatahari.com berbagi cerita seputar think black. Ada tuhan kresek hitam dan bungkus snack rasa ikan, ada album Sarasvati yang menjelma bayang di dinding, ada Onde Mande Si Monyet Hitam narsis sebagai penyalamatahari, dan ada tuhan hitam yang melapisi sadel gerobak penjual krupuk.

Hitam tidak selalu membutakan, kadang ia justru mempertegas cahaya. Hitam tak selalu mengerikan, adakalanya ia jadi sahabat terbaikmu. Hitam memiliki kearifannya sendiri. Ia menorehkan cerita di kertas putih, menyimpan sesuatu yang mungkin justru mencelikkan mata hati. 

Selamat menyambut hari raya Idul Fitri 1431 H, Teman-teman
Think black, berikan arti pada putihmu …

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea

*diculik dari tagline rokok Djarum Black

Story of Peter-Sarasvati di Dinding, Diam-diam Merayap



Sesosok bayangan berkelebat di dinding kamar saya. Agak waswas, saya menyalakan lampu kecil di sisi tempat tidur. “Siapa itu …?” tanya saya dengan suara gemetar. Tak ada sahutan. Namun bayangan itu berkelebat lagi. Dan lagi. Dan lagi. Akhirnya ia tak lagi terlihat menakutkan. Kewaspadaan saya mengendur.
Kelebat-kelebat itu merayap dan menyampaikan tujuh cerita sedih. Dengan tangkas ia bermain dengan berbagai elemen sehingga menjadi teater yang mengusik emosi. Ambil contoh dalam Fighting Club. Dibuka dengan melodi satir, iringan chord minor putus-putus pada piano, dan kalimat yang jadi terasa sinis karena musik yang disandingnya, 

“We are happy family, we don’t think to equally”




Di tengah-tengah lakon, musik tiba-tiba berhenti. Masuklah drama percakapan di telpon yang hanya memperdengarkan suara aku lirik sebagai salah satu pihak. Ketika emosi memuncak, perlahan dan fade in musik kembali membangun suspense sampai akhirnya terbit utuh dalam tempo yang lebih lambat. Lelah. Tetapi marah. 

Kelelahan dan kemarahan serupa hadir dalam Cut and Paste. Meski disampaikan dengan lebih empuk, ada bagian yang juga hadir dalam tempo lebih lambat,

“There is something in your mind, force my every single line
Should I dancing in your stage, just like your cat in your cage ….”

… dan jika diperhatikan lebih saksama, pada bagian tersebut vokal seperti redam dan keluar dari tape recorder

“Siapa kamu sebetulnya?” tanya saya sambil mengusap bayangan yang merayap di dinding. Tetapi bayang adalah bayang. Ia hanya citra dari benda yang entah seperti apa bentuk aslinya. Yang lahir dari love-hate relationship-nya dengan cahaya dan imaji kita. Yang kemudian memainkan perannya di dinding sebagai cerita. 

Seluruh lakon ditutup dengan lagu recycle Perjalanan. Seperti dalam Bilur, bayang-bayang ibu dan kesepian hadir di sana. Sepi karena bayang-bayang memang membangun bentuk namun legam tanpa corak. Tahu-tahu saya merasa ada ruang kosong di antara jantung dan perut saya. 

“Tidur, ah,” gumam saya. Saya pun mematikan lampu. Membunuh cahaya. Membunuh bayang-bayang di dinding. 

Suara jangkrik dan detik konstan merayap. Kesadaran saya tak mau lelap. Ruang kosong di antara jantung dan perut saya menyala bersama bayang-bayang lakon Sarasvati yang ternyata telah pindah ke sana. Lalu bagaimana menyuruhnya berhenti jika saya tak tahu di mana letak saklar jantung dan perut saya?

Sundea

 Kunjungi Sarasvati di myspace: http://www.myspace.com/risasarasvati

Tuhan dan Bungkus Snack Rasa Ikan

: kresek adalah tuhan

Tuhan hitam ditampar air laut. Menyentuh pantai, merangkul pasir, menjadi asin. Air membuatnya basah dan amis laut. Karang membuatnya luka sedikit, tapi tak sampai menghancurkan pesonanya.



“Selamat pagi, tuhan,” sapa bungkus snack rasa ikan. “Selamat pagi,” sahut tuhan ramah. “Ternyata tuhan begitu mirip dengan saya. Kita sama-sama plastik, sama-sama basah, sama-sama asin, dan sama-sama bau ikan. Saya senang sekali bisa sedekat ini dengan tuhan,” ujar bungkus snack rasa ikan gembira. Sebelumnya bungkus snack rasa ikan hanya mengenal tuhan-tuhan yang kering, hambar, dan bau bahan kimia di supermarket. Dia jadi bersyukur Dea membuangnya di tepi pantai.

“Bagaimana rasanya jadi bungkus snack rasa ikan?” tanya tuhan. “Rasanya … ? Hmmm … sebetulnya saya merasa keren. Wajah saya sering muncul di tv dan majalah, disandingkan dengan artis terkenal, dan orang-orang sepertinya merasa keren waktu membeli saya,” jawab bungkus snack rasa ikan bangga. “Membeli bungkus … atau snack rasa ikan?” goda tuhan jenaka. Bungkus snack rasa ikan terkesiap. 

Ia teringat pada snack rasa ikan yang dititipkan pabrik kepadanya. Sebagian dimakan Dea, sebagian lagi melempem dicuri angin. Bungkus snack rasa ikan sendiri lalu dilupakan dan menjadi sampah. Setelah snacknya dikuras, gambar yang tercetak di permukaannya pun memudar dicuri air laut, matahari, dan waktu.
Tetapi ia bertemu tuhan. Sedikit terhibur karena sekilas tuhan pun terlihat serupa dirinya. 

“Meski kamu bungkus snack rasa ikan, pasti kamu belum pernah melihat ikan. Ayo kita tamasya ke dalam laut,” ajak tuhan menyenangkan.

Bungkus snack rasa ikan ditampar angin laut; beringust ke perut tuhan hitam yang merengkuh apa saja tanpa pilih kasih. Bungkus snack rasa ikan meninggalkan pantai, mengindera pasir, dan menjadi asin air laut sungguhan. Ia sudah bersentuhan dengan tuhan, sebentar lagi ia bersentuhan dengan ikan.

Bungkus snack rasa ikan merasa memiliki segalanya. Sejak saat itu, tak ada lagi yang bisa dicuri darinya …

Sundea

Tuhan di Sadel dan Doa di Terpal


Seorang penjual krupuk mengaso di pinggir jalan. Doa memimpin gerobaknya, tuhan plastik kresek melingkupi sadelnya. Intuitif-impulsif saya menghentikan angkot yang sedang membawa saya dan menghampiri sang penjual krupuk.


“Kok sadelnya dibungkus pake kresek segala, Mas?” 


tanya saya pada penjual krupuk asal Ciamis yang ternyata bernama Mas Ade Tendi itu. “Biar nggak tembus air kalau hujan,” sahutnya. “Pernah nggak lupa pasang kresek terus keujanan?” tanya saya lagi. “Pernah. Celana jadi basah. Saya malu diliatin orang, dikirain apa,” sahutnya lagi sambil menahan tawa mengenang pengalaman itu. 


Bagi Mas Tendi musim hujan adalah berkah. Meski harus berrepot-repot memasang kresek dan terpal di gerobaknya, omset yang ia peroleh di musim ini jauh lebih besar. “Kalau musim panas dapatnya cuma tiga puluh sampai empat puluh ribu. Musim hujan bisa delapan puluh, malah kadang bisa sampai seratus ribu lebih, soalnya kalau musim hujan banyak yang makan mi,” ceritanya dengan mata berbinar. Hari itu masih ada tiga puluh lima ribu buah kerupuk di gerobaknya, “Tapi banyak langganan, kok. Yang di pasar-pasar ada yang ngambil lima ribu, sepuluh ribu, buat stok nanti syawal,” ujarnya optimis.

Setiap hari Mas Tendi berangkat pukul dua pagi dan pulang sekitar pukul empat sore. Ia mengayuh gerobaknya dari Cibaduyut, Pasar Ancol, Dago, sampai ke Pasteur. Konon profesi menjual krupuk ini sudah turun temurun, “Dulu orangtua saya juga jual kerupuk, tapi yang dipikul,” ungkap Mas Tendi, “Kalau dikabulkan saya berdoa bisa ganti profesi jadi juragan krupuknya,” katanya setengah berseloroh tapi membersitkan harapan yang sungguh-sungguh. “Jadi tulisan ‘doa’ di sini emang ada maksudnya, Mas?” tanya saya sambil melirik terpal gerobak. “Enggak, itu mah saya juga nggak tau. Yang penting buat nutup krupuk saya aja biar nggak kehujanan,” jawab Mas Tendi yang punya bayi berusia enam bulan ini.


“Doa” dan “Tuhan” adalah elemen yang membuat saya tertarik mewawancarai Mas Tendi. Ketika ditanya mengenai kedua hal itu, Mas Tendi menjawab sederhana, “Ya sama doa kita harus percaya, sama Tuhan juga kita harus percaya.” Saya tersenyum. Itulah yang tanpa sadar dilakukan Mas Tendi setiap hari. Ia mempercayai tuhan kresek hitam yang melapis sadel dan terpal yang menudungi krupuknya dengan setia, mengantarnya berkeliling jauh-jauh menembus hujan.

“Bandung udah sepi, lho, Mas, mudiknya kapan?” tanya saya. “Palingan besok, pas Lebarannya,” jawab Mas Tendi sambil mengepak krupuknya. Di penghujung wawancara saya membeli krupuk kuning. “Maap kreseknya nggak ada,” kata Mas Tendi. “Nggak apa-apa, bisa ditenteng, kok,” sahut saya. Kalaupun ada, tuhan lebih baik berjaga di dalam gerobak Mas Tendi, siapa tahu hujan turun lagi dan Mas Tendi membutuhkannya.


Saat memilih krupuk, saya menyadari sesuatu. Sejak tadi sepotong silet kecil menjuntai di sisi gerobak. Ia dan tuhan bertatapan lekat-lekat …

Sundea

Onde Mande Si Hitam Narsis yang Merasa Hitam Manis


Onde Mande adalah singkatan dari ONyetnya DEa MANis DEh. Mungkin akibat nama yang berbau narsistik inilah monyet hitam kurus kering dan sesungguhnya sangat biasa-biasa saja ini tumbuh terlalu percaya diri. 


Biar bagaimanapun, Dea sangat sayang padanya. Ia menemani Dea ke mana-mana, hadir untuk mengganggu sekaligus menceriakan, dan yang pasti, sangat tepat untuk Salamatahari edisi “Think Black” ini.




Ayo, Nde, kita wawancara.
Cek dulu jadwal Onde di manager Onde.

Halah! Manager kamu kan Dea.
Oh, iya. HAHAHA-HAHAHA-HAHAHA

Heup! Kamu kan warnanya item, ya, Nde. Apa pendapat kamu tentang warna bulu kamu?
Indah. Apapun yang ada pada Onde pasti indah. Tahu, nggak, sampai ada yang nyiptain lagu buat Onde, “Hitam manis, hitam manis yang hitam manis …”

Idih! Ge-er amat! Lagu itu kan udah ada dari sebelum kamu lahir!
Begini, Dea. Pencipta lagu itu tahu kalau di masa yang akan datang, akan muncul monyet hitam yang mencengangkan dunia. Jadi dia seperti meramal, lagu dia itu nubuatan. HAHAHA-HAHAHA-HAHAHA …

Your wish! Kalo suatu saat bulu kamu jadi putih gimana?
Lagu itu pasti akan berubah juga jadi “Putih manis, putih manis, yang putih manis …”

DER! Hahaha …sekarang tentang warna item itu sendiri. Menurut kamu gimana, Nde?
Semua keindahan dalam warna hitam itu pasti mengacunya ke Onde. Misalnya, ada orang yang bilang hitam itu elegan, hitam itu cocok sama warna apa aja, hitam itu bikin orang keliatan lebih langsing, hitam itu misterius tapi seksi …. Onde banget kan? Jadi, hitam itu indah karena mengacu ke Onde. HAHAHA-HAHAHA-HAHAHA

Heup! Males banget, deh. Kalau pendapat kamu tentang dunia hitam gimana, Nde?
Dunia ketika semua orang meniru gaya berbulu Onde. HAHAHA…H(eup! Dea menutup mulut Onde).

Ya udah. Sekarang tentang kamu sendiri, ya.
Asik, ini kesukaan Onde … (duduk tegak)

Kenapa, sih, kamu obsessed banget jadi artis? Nggak pantes, tau. Kamu jelek begini …
Yah, Dea! Kirain mau nanya tentang apa. Tapi nggak apa-apa, Onde jawab. Onde, sih, percaya Onde ganteng. Mungkin karena kita terlalu deket, Dea udah nggak bisa lagi ngeliat ketampanan di wajah Onde. Atau Dea sengaja ngehina-hina karena takut Onde tau-tau lebih populer dari Dea, yaaa …?

Enggak.
Iyaaa … ayo ngaku.

Enggak, ih … eh, kalau Dea takut, ngapain Dea ngewawancara kamu buat penyalamatahari minggu ini?
Justru buat ngejatohin nama Onde.

Bulan puasa, Onde. Su’udzon dosa, tau.
Oh, iya. Dea juga, ngehina makhluk lain dosa, tau.

Oh, iya. Ya udah, kita baikan.
Onde dan Dea besrsalaman.


Terakhir, deh, biar nggak tambah ngaco. Apa pendapat Onde tentang tema Salamatahari minggu ini, “Think Black”?
Semua orang think about Onde yang hitam, manis, elegan, cocok sama apa aja, entertaining, serta misterius tapi seksi ini. HAHAHA-HAHAHA-HAHAHA …

Ketika Onde Mande sedang tertawa sendiri, Dea beringsut meninggalkan dia. Think black! Think beyond you can think in your normal mind. 


What do you think about this creepy monkey puppet …? Follow twitternya di @OndeMande


Sundea

Cukur

“Walau makan susah,
walau hidup susah,
walau tuk senyum pun susah
Rasa cukur ini karna bersamamu juga susah dilupakan …”*

Teman-teman, setelah bercukur minggu lalu, hari ini www.salamatahari.com telah gondrong kembali. Kegondrongannya pun lebih terstruktur, bahkan berkonsep (diceritakan langsung oleh Bayu Bergas sang tukang cukur dalam rubrik “penyalamatahari”). Kami juga menyajikan zine-zine-an offline Salamatahari (sedang diproses agar fit in) yang nantinya dapat kau unduh secara gratis. Semoga kesegaran yang hadir di awal bulan ini memberi contoh dan pengaruh baik pada hari-hari yang akan emengikuti di belakangnya.

Cukur dan syukur adalah dua kata yang dekat secara bunyi. Dalam edisi ke-39 www.salamatahari.com, kedua kata tersebut membaur seperti pada upacara cukur rambut (akekah) untuk bayi berusia 40 hari. Peristiwa tersebut menandai fase baru bagi sang bayi, seperti fase baru www.salamatahari.com yang dirayakan – meski tanpa seremoni – dengan penuh rasa syukur.

Inilah posting-posting tentang cukur dan syukur; Pak Dede dengan Pangkas Rambut Rizky Anugerahnya, wawancara dengan Bayu Bergas pencukur www.salamatahari.com, rambut merah anak-anak jalanan, dan Solomon Sihombing yang serupa rumput.

“Kita berlari-lari
Bersama mengejar mimpi
Tak ada kata tuk berhenti”*

Doakan zine-zine-an ini senantiasa hadir seperti rumput dan rambut, ya, Teman-teman. Tak peduli seberapa pendek dipangkas, tak ada yang bisa melarangnya tumbuh lagi dan lagi.

Rasa syukur kami atas kehadiran kalian pun adalah berkat yang selalu tumbuh lagi dan lagi; tak peduli sependek apapun berbagai peristiwa memangkasnya.

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea


*diambil dari lirik lagu Ku Bahagia Sherina

Dinding Dingin Rizky Anugerah


Rizky Anugerah adalah pangkas rambut kecil mungil di bilangan Siliwangi, Bandung. Sebelum akhirnya terjepit di antara Hotel Scarlet dan Bank Mandiri, selama tujuh tahun ia sempat bertetangga dengan salon klasik yang cukup elite, Leidya. 

Ketika tahun lalu Leidya bubar,

Rizky Anugerah tetap berjaya di tempatnya. Gedung-gedung besar tak dapat menelannya, waktu tak dapat menggerusnya, dan pelanggan-pelanggan yang terus mengalir menghidupkannya. Di balik semua itu, berdiri Pak Dede Stansah, laki-laki Garut berusia 43 tahun yang telah membuka usaha cukur selama dua puluh tahun. “Kenapa milih profesi jadi tukang cukur, Pak?” tanya saya. “Terpaksa. Nggak ada keahlian lain. Udah alami dari oroknya,” kata Pak Dede yang mengaku tak pernah kursus mencukur rambut ini. Saya tersenyum geli melihat cara bapak dua anak ini menjawab: dingin. Meski begitu, saat mengamatinya, saya mendapati passion dan ketrampilan dalam seluruh bahasa tubuhnya. 


“Kenapa namanya Rizky Anugerah, sih, Pak?” tanya saya. “Nama anak,” sahut Pak Dede singkat. “Kenapa anaknya dinamain Rizky Anugerah?” tanya saya lagi. “Ya namanya nama anak, semaunya saya aja. Rizky sama Anugerah mah bisa ngartikan sendirilah,” jawab Pak Dede sekenanya. “Teruuuus … waktu di belakang masih salon Leidya, Bapak pernah saing-saingan, nggak?” lagi-lagi saya bertanya. “Ya enggak. Kita mah masing-masing. Di sini nggak ada creambath, di sana orang nggak tau pakai pisau,” jawab Pak Dede.

Selama Pak Dede dan saya mengobrol, Pak Iyek yang sedang dicukur Pak Dede tersenyum-senyum simpul. “Bapak udah langganan, ya, di sini?” saya kemudian menanyai. “Iya. Di sini mah enak. Dia udah tau potongan rambut saya gimana, tinggal duduk, nggak usah nawar-nawar lagi,” sahut Pak Iyek yang sedang menikmati pijatan Pak Dede, “Dulu saya pernah langganan di tempat lain, tapi kecewa sama servisnya.” “Sebetulnya di sini nggak ada servis-servisan. Semua pangkas rambut sama-sama aja, yang beda hasilnya,” sambar Pak Dede.


Ketika ditanya mengenai pengalaman paling menarik selama mencukur, Pak Dede menjawab, “Menarik, sih, nggak ada. Mungkin menyenangkan. Dulu kalau musim Ospek saya paling seneng. Panen. Sehari bisa 80-90 orang. Tapi sekarang udah nggak ada gara-gara pas Ospek ada yang meninggal itu. Padahal mungkin meninggalnya bukan karena Ospek juga. Kalo udah waktunya, meninggal ya meninggal aja,” papar Pak Dede sembarangan dan datar. Pak Iyek dan saya tergelak-gelak.

Pak Iyek selesai dicukur. Bapak lain yang telah menanti segera duduk di singasana dan mulai dicukur oleh Pak Dede. “Di sini tarif cukurnya berapa, sih, Pak?” tanya saya. Pak Dede hanya menunjuk tulisan merah di dinding salonnya: “Dewasa: 8000, Anak: 7000, Kumis-Jenggot: 2000”. 


Sementara Pak Dede sibuk mencukur, saya menyusuri kemungilan Rizky Anugerah. Ternyata tak hanya tarif, nomor telpon Pak Dede pun ditulis dengan bolpoin di salah satu sisi dinding. 

Kusam dinding Rizky Anugerah adalah tinta yang ditorehkan masa ke masa. Ceritanya tidak terbaca tapi terasa. Saya menyentuhnya. Dingin. Meski matahari di luar bersinar hangat.

Sundea

Bayu Bergas Mencukur Menurut Kehendak Rakyat

Di edisi ke-39 ini www.salamatahari.com hadir lebih klimis. Keklimisan ini merupakan hasta karya dari Bayu Bergas, tukang cukur dengan berbagai cabang profesi lainnya; mulai dari bintang film, publicist, hingga samsak bagi teman-teman yang ingin melampiaskan hasrat mencela.
Inilah hasil obrolan Sundea dengan sang tukang cukur. Simak …




Sejak kapan, nih, alih profesi jadi tukang cukur ? Ato dari dulu sebenernya diem-diem lu emang udah tukang cukur, ya? Betul! Sejak lahir sebenrnya saya ditakdirkan untuk jadi tukang cukur. Tukang cukur itu kan membikin rapi, menata, menyembuhkan, hahaha... Saya mau jadi tukang cukur negara. Bila rakyat menghendaki.

Wuidih … nasionalis abiiiis. Jadi apa pendapat lu tentang profesi “tukang cukur” itu sendiri ? Tukang cukur adlh orang yang paling kurangajar karena sukanya megangin kepala orang. Kenal kagak, maen pegang-pegang. Udah gitu dapet duit pula. Pokoknya tukang cukur itu jagoan. SBY aja kalah ama tukang cukur. Ruhut Sitompul juga kalah. Yang menang lawan tukang cukur cuma pohon. Karena biasanya tukang cukur berlindung di bawah pohon. Jadi kalau kita denger ada penebangan pohon membabi-buta, itu sebenarnya adalah perbuatan dari orang-orang yang merasa berkuasa dan tidak ingin dikalahkan ama tukang cukur. Makanya tempat berlindung tukang cukur ditebangi, sampai-sampai banyak tempat sekarang tandus gak ada pohon.Sebenernya sih kita bisa mencegah hilangnya pohon-pohon, bila rakyat menghendaki.

Hiyahahaha … jadi tukang cukur berhubungan sama pembalakan liar, ya. Sekarang tentang nama lo. Nama lo kan Bayu Bergas. Harusnya lu jadi tukang gas ato penjual balon, lho … Profesi saya sebagai tukang gas diserobot. Lalu muncul tabung gas 3kg yang mirip petasan itu; meledak dimana-mana. Kalo penjual balon gak kepikiran karena anak-anak yang mau beli biasanya malah ketakutan ama kumis dan brewok saya. Tapi mudah-mudahan beberapa waktu lagi saya akan maju sebagai balon presiden. Bila rakyat menghendaki.

Kalo jadi balon presiden, ati-ati meledak juga semacem tabung gas. Nah, ngomong-ngomong soal presiden, kata lu “model rambut baru” Salamatahari kan namanya model SBY. Kenapa, tuh? Trend “rambut” Salamatahari yang sekarang didominasi warna biru. Itu artinya semacam perasaan haru-biru. Inspirasinya dari keseringan liat SBY curhat di tivi. Jadi kan mellow-mellow dan haru-biru gitu. Tapi warna kuning-oranye mataharinya jadi lebih menonjol di antara biru. Itu simbol bahwa ada harapan yang besar di masa datang, meski saat ini SBY haru-biru mulu. Bisa jadi di antara pelanggan Salamatahari adalah matahari itu sendiri nantinya. Bisa jadi juga saya. Itu bila rakyat menghendaki lho, Mbak.

Ngarep… hahaha …anyway ternyata berkonsep banget “model rambutnya”. Btw, susah nggak, sih, “nyukur rambut” Salamatahari? Susah! Salamatahari” rambutnya” tebel, panjang, dan banyak kecoa-nya!

Hahaha … nyebelin. Kalo gitu sekarang cerita, dong, suka duka “nyukur rambut” berkecoa ini …Mencukur Salamatahari itu ibarat kita naek mobil di tanjakan, tapi mobilnya susah naik. Jadi kayak berhenti di tengah-tengah. Ngerem aja gitu. Ngegas mesinnya susah, mau mundur, ntar nyemplung ke jurang. Itu karena Salamatahari terus mengalir tiap Kamis, sedangkan untuk mencukur tentu butuh waktu. Sedangkan para pelanggan Salamatahari pasti rutin berkunjung. Makanya waktu Salamatahari menjelma jadi dotkom, kita sempat break beberapa lama. Pengunjung kecewa. Tapi kita gak bisa mundur dong. Akhirnya kita tetep maju demi perbaikan Salamatahari. Dan sekarang pun sama! Hahahaha... Tapi lagi-lagi, kita terus maju. Mudah-mudahan gak ada lagi itu yang namanya bikin pelanggan kecewa karena kita cukur mulu. Tentunya itu yang rakyat kehendaki kan, mbak?!

Hidup rakyat! Nah, katanya lu bikin zine-zine-an offline-nya juga, ya?
Iya. Konsepnya simpel sih. Kita bikin semacam project kolaborasi. Dea sebagai penulis sedangkan saya lebih ke visual. Saya kan selalu baca tulisan-tulisan Dea dan versi offline-nya ini bisa dikatakan sebagai
respon visual saya atas tulisan-tulisan Dea tanpa melenyapkan seluruh kekhasan dari Salamatahari. Singkatnya, Dea dan Bergas itu nantinya ibarat duet Krisdayanti sama Ridho Rhoma.

Krisdayanti sama Ridho Rhoma banget, Bay? Supaya sesuai selera rakyat ya? Eh, lu ada rencana “mencukur rambut-rambut” lain, nggak? Boleh, lho, sekalian promosi …Hmm.. kalo ada yang mau tahu kabar teman-teman komunitas film pendek di Indonesia, bisa lho berkunjung ke www.komunitasfilm.org. Kalo yang lain... hehehehe.. malu ah.. Saya pemalu, Mbak. Kecuali bila rakyat menghendaki. #clegukkk #nutupmuka #mules #kabuuur

Heh, jangan kabur dulu, wawancaranya belom kelar. Terakhir, nih, apa yang lu harepin dari Salamatahari dan cukuran barunya?
Moga-moga Mbak Dea tetap di jalur yang bengkok ini. Amin.

Itu bila rakyat menghendaki, Bay … hahaha … baiklah. Sekian dulu. Special thank’s, ya. Semoga kita bisa bekerja sama dengan bahagia sehat sentausa bagai Upin dan Ipin. Ihiw …

Sepanjang apa dan seperti apa kelak “rambut” www.salamatahari.com akan bertumbuh? Baik Sundea maupun Bayu Bergas tak pernah tahu pasti karena “rambut” tumbuh seperti cerita yang terbit bersama waktu yang mengalir.

Seperti apapun, semoga kami tetap menjadi kesayangan di hati rakyat …

Sundea

Lomo Sang Rumput

Solomon Anggiat Taruli Sihombing
19 April 1972 - 30 Agustus 2010
“Hah?! Solomon mana, nih?!” panik saya saat hastag RIPSolomon muncul di twitter. Sambil menelusuri informasi yang ada, saya berharap “Solomon” yang dimaksud bukan Lomo yang saya kenal. Ternyata Solomon yang disebut-sebut memang Lomo kami yang baik. Mendadak saya lemas.


 

Saat itu jam satu pagi. Tidak ada teman dekat yang berhasil saya hubungi. Satu-satunya sumber informasi saya saat itu hanyalah #RIPSolomon di twitter. Di sana berderet testimoni tentang Lomo: Good hearted person, less judgmental, menenangkan, humorous, tidak pelit … saya jadi teringat pada kunjungan terakhir saya ke TPU Menteng Pulo dua hari sebelumnya. Saat itu rumput-rumput yang diam seperti menyampaikan pesan; Lomo ada dalam diri mereka.

Lomo bukan bunga yang berusaha menarik perhatian dengan warna-warninya. Bukan pohon yang dominan memimpin dan kadang jumawa. Ia adalah rumput yang bersahaja dan mudah menyesuaikan diri. Tidak semerbak seperti bunga tapi aromanya selalu khas. Tidak berbuah tetapi paling banyak melahirkan embun di pagi hari. Saat terinjak ia menggelitik sekaligus sejuk di kaki. Saat angin menerpa ia mengayun tak tergesa sambil berdesir liris.

Sejauh yang saya kenal setengah tahun belakangan, Solomon Sihombing adalah teman , ayah, dan suami yang sebaik rumput. Siapapun merasa nyaman berada di dekatnya. Sebagai kameramen ia memiliki kepekaan mengambil gambar yang khas; detail, tidak tergesa, tetapi tak membunuh kita dalam kelambanan yang menjemukan. Sebagai teman ia tidak cerewet tapi juga tak bisa dibilang tak punya cerita.

Lomo pergi cukup mendadak. Setelah sempat duduk-duduk minum kopi sore bersama beberapa teman, ia bermain hockey. Setelah itu Sang Maha Pemangkas membabat nyawanya. Mengembalikannya pada tanah untuk kembali ditanam dan tumbuh dalam wujud yang lain.

Kelak makam Lomo akan dikelilingi oleh rumput-rumput yang membuat kubur batu merasa teduh dan nyaman. Para rumput lalu bercerita pada kubur batu, “Kamu tahu? Laki-laki baik yang ditanam di bawahmu telah tumbuh menjadi kami …”

Sundea

makamberumputrumput

Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya untuk keluarga yang ditinggalkan
Lom, istirahat yang tenang, ya … tetep masih aneh rasanya lu udah nggak ada …