(T)isu

Isu seperti tisu. Ia mudah terbawa angin, rentan sobek, dan setiap paketnya terdiri dari berlembar-lembar. Permukaan tisu begitu lembut sehingga tak mudah merusak benda. Sebaliknya, ia sendirilah yang dirusak oleh benda yang dibersihkannya. Tisu tak dapat dipakai berkali-kali seperti sapu tangan, seperti handuk, seperti sikat. Tisu tak umum dikenang dan disimpan-simpan. Tetapi tisu selalu diproduksi lagi dan lagi. Dikonsumsi lagi dan lagi.

Isu adalah kabar angin yang tak terjamin kebenarannya. Ia berhembus setiap hari di sekitar kita, menyapu persepsi kita dengan aneka cerita, kemudian terbuang-buang di belantara opini. Kadang apa yang disekanya menjadi lebih jelas, kadang sebaliknya. Tetapi seperti bakteri pengurai dalam rantai makanan, isu selalu mempunyai peran dalam rantai cerita.

Minggu ini Salamatahari menghadirkan posting-posting seputar isu dan tisu. Ada isu mengenai peraturan lalu lintas yang dibahas supir angkot dan penumpangnya, kebenaran seputar isu kripik Maicih palsu yang sempat santer, Curipandang.com yang membagi isu-isu seputar selebritis, dan tisu yang menyerap minyak di talas goreng.

Berlembar-lembar isu dan tisu masih diproduksi lagi dan lagi. Jika kita bijak menyapukannya, ia bisa menjadi teman yang membersihkan.

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi teman-teman Muslim, semoga ketulusan yang selembut tisu dapat membersihkan hati kita semua …

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea

OOT:

Selamat berkoner Theatre of Mind di hari keseimbangan – 28 Juli 2011 - buat Bottlesmoker.

You guys will share the good spirit to this city =)

Peraturan

-Selasa, 26 Juli 2011-

Dalam sebuah perjalanan berangkot, tak sengaja telinga saya menangkap percakapan yang kira-kira seperti ini:
“Nggak bener itu yang siang-siang nyalain lampu kendaraan!” rutuk si supir angkot.
“Tapi di daerah Jawa ada aturan harus nyalain lampu kendaraan siang-siang,” sanggah ibu di sebelah supir angkot tersebut.
“Yang nggak bener yang bikin aturannya itu. Artinya dia nggak percaya sama Tuhan.”
“…”
“Siang-siang Tuhan udah kasih matahari buat menerangi. Buat apa harus pakai lampu-lampu segala lagi, coba?”





Saya menahan tawa. Diam-diam saya memotret bangku depan angkot yang dibatasi teralis. Hari sudah malam. Angkot yang minim cahaya tidak membantu kamera saya menangkap foto yang jelas. Apalagi kamera kecil saya hampir kehabisan baterai. Tetapi tidak apa-apa. Saya suka warna kemerahan yang dipendarkannya.

Tiba-tiba telinga saya menangkap tawa yang lain tepat di bawah kaki. Ternyata diam-diam tuhan merapat ke bangku depan, mendengarkan percakapan tadi, dan ikut tertawa geli. Suaranya halus sekaligus renyah. Saya suka. Meski kamera tak bisa memotret suara, saya memotret tuhan yang sedang tertawa.


Supir angkot dan Ibu di sebelahnya masih mengobrol tentang apa saja. Mengenai aturan pemerintah dan kesenjangan, mengenai daerah tempat si ibu berasal, hingga akhirnya kembali kepada lampu kendaraan. Sebelum si ibu turun, supir angkot mengulang kembali pernyataannya.

“Tuhan udah kasih matahari untuk menerangi kalau siang-siang …”
Saya tersenyum.
Saya adalah penumpang terakhir di dalam angkot. Ketika semua penumpang lain sudah turun, supir angkot menatap saya melalui spion.
“Turun di mana, Neng?” tanyanya.
“Depanan dikit, Pak …”

Angkotnya melaju dan berhenti di tempat yang saya tunjuk. Ketika saya membayar, ia mencetuskan pernyataan yang ajaib lagi.

“Kalau semua orang tau-tau jadi miskin, mau nggak orang yang sekarang kaya disuruh bawa angkot?”
“Hah?”

Saya lalu melirik tuhan. Ia masih ada di tempat semula meski tidak tertawa-tawa lagi. Dia tidak bercahaya seperti matahari, tetapi ia memantulkan kembali cahaya lampu kendaraan yang melintas di sebelah angkot. 


Saya tahu tuhan masih terus mendengarkan, maka diam-diam saya menitipkan doa.

Tujuan membuat setiap penumpang pada akhirnya pergi meninggalkan angkot. Tetapi tuhan tetap menyertai angkot, entah sampai ke mana …

Sundea

Bob Merdeka dan Maicih Hadap Depan. Betulkah Palsu?

Kripik pedas Maicih adalah salah satu makanan ringan terpopuler saat ini. Sistem pemasarannya yang sangat “gini hari” dan pedasnya yang cadas-cadas menagih membuat kripik ini selalu dicari-cari. 

Namun belakangan beredar isu kehadiran Maicih palsu. Selain kripik Maicih dengan logo emak-emak yang menyamping, beredar pula kripik Maicih dengan logo emak-emak hadap depan. Betulkah Maicih berlogo emak-emak hadap depan adalah kripik Maicih palsu?

Salamatahari mengkonfirmasi isu ini langsung kepada Dimas Ginanjar Merdeka alias Bob Merdeka, pemilik kripik Maicih versi logo hadap depan … 





Bob, sebetulnya ada apa dengan kripik Maicih yang sekarang jadi beda logo ini?
Sebenernya memang diakui kita pecah.



logomaicih  maicihdua

Kenapa?
Itu karena perbedaan visi, perbedaan tujuan mau ke mana, jadinya ada perbedaan produk. Kalau saya lihat, ini memang subyektif saya, ya, mereka terlalu mengejar volume, kuantitas, akhirnya lupa sama nilai-nilai yang lain. Kalau ngejar volume, kualitas jadi turun. Kalau saya, sebisa mungkin produksi, kalau kualitasnya turun ya udah produksinya segitu aja.

Emang sekarang Maicih yang ini produksinya berapa banyak?
Lima ribu bungkus sehari.

Wow! Banyak juga, dong …
Iya, lumayan … hehehe …

Emang kalo Maicih yang ini visi-misinya apa?
Visi kita, kita support temen-temen yang kreatif. Sekarang kita menggerakkan kota Bandung dulu. Bukan di musik aja, tapi semua yang berhubungan sama seni dan budaya seperti teater, tari. Kita support temen-temen yang punya sesuatu yang unik dari karya mereka, bukan sekedar asal tebak aja. Kayak Sarasvati, Bottlesmoker kan punya cara yang unik dari musiknya dan dari cara mereka menjual musiknya.

Oh, iya. Kemaren sempet nyeponsorin Sarasvati juga, ya?
Iya. Sebetulnya kita udah ngincer Sarasvati sebelum Mancawarna (konser Sarasvati di Bandung), tapi udah keduluan sama yang lain. Abis itu kita sempet nanya, kita masih punya kesempatan, nggak, buat nyupport Sarasvati? Terus mereka bilang boleh, tapi jangan di Bandung. Ada kesempatan di Yogya. Kebetulan di Yogya peminat Maicih juga lagi banyak. Pas lagi, kebetulan kita lagi pecah. Pas pecah itu, temen-temen dari Maicih yang satu lagi melemparkan isu kalo kita itu Maicih palsu. Dan isu itu paling santer di Yogya, jadi waktu kita mensupport Sarasvati untuk musik mereka, kita juga punya kepentingan supaya temen-temen paham kalo kita nggak palsu, lho.

Hmmm … berarti baik Maicih hadap depan dan hadap samping nggak ada yang palsu, ya?
Sebenernya di antara dua versi besar tadi, nggak ada asli atau palsu. Semustinya temen-temen dari sana mengakui kalau kita pecah, jadi ya sudah. Yang jelas kampanye dari kita ya fakta-fakta sejarah, terus konsepnya, gimana memulainya, siapa yang bikin, itu semua ada di kami.

Secara kekripikan, ada bedanya nggak Maicih yang ini sama yang satu lagi?
Rasanya beda. Ya itu tadi, kalau ngutamain kuantitas, kualitas jadi menurun kan. Terus secara umum kemasannya. Mereka pakai logo yang ke dua (Maicih tiga kali berganti logo, termasuk dengan Maicih hadap depan ini), nggak ada repackage, kalo saya repackage, pake paper bag, rebranding, ganti logo, punya program One Coin One Leaf karena kita udah nyumbang sampah plastik dan sampah kertas untuk lingkungan, ada dinkes. Kita sih nurutin aturan yang berlaku di negeri ini. Kalo produk makanan itu harus jujur. Kayak komposisi, berat bersih, kita udah ada. Temen-temen konsumen pasti cerdaslah, kalau kita palsu masa jujur?




Hahaha … baiklah. Berarti isu seputar palsu nggak palsu udah terjawab dengan jelas. Btw, isu lainnya, katanya resep Maicih itu didapet dari seorang nenek-nenek bernama Maicih di sebuah desa. Bener, nggak?
Nggak, itu bener-bener isu. Saya bikin tokoh fiktif, bener-bener direka-reka aja. Maicih dibikin untuk membuat kripik pedas yang saya suka dikonsumsi banyak orang, gitu. Jadi emang jualan Maicih itu timbul dari kesukaan terhadap makan kripik pedas itu sendiri.

Jadi resep Maicih dapetnya dari siapa?
Ngambil dari sebuah tempat produksi kripik pedas yang saya suka. Terus dijual, tapi setelah laku, permintaan bertambah banyak, nggak mungkin kalo ngambil terus. Jadi saya produksi sendiri dan mencoba membuat cita rasa yang lebih baik daripada itu. Jadi sebenernya patokan kualitas rasa ya lidah saya.

Misalnya Maicih yang di logo ini ada beneran, kira-kira dia orangnya gimana?
Kalo beneran ada, dia pasti ramah, hangat, dan menganggap orang lain langsung jadi keluarga. Dia sebetulnya sangat tradisional, tapi juga sangat melek sama isu-isu global.

Wow, nenek-nenek gaul.
Hahaha … iya, gaul.

Bob, apa yang bikin kamu punya passion untuk serius dan penuh kasih sayang ngejalanin usaha ini?
Apa, ya? Sebuah ide kalo Maicih bisa kampanye budaya. Itu sih yang paling menarik. Bukan soal rasial karena Maicih tokoh Sunda, tapi Sunda sebagai konsep, jadi saya bisa melestarikan nilai-nilai budaya yang sudah ditinggalkan. Kayak misalnya orang Sunda peduli dengan alam, suka bermusik, suka menari. Selain itu orang Sunda pasti suka pedes. Kalo nggak suka, rada anomali. Kripik pedes cemilan orang Bandung banget, meskipun saya nggak tau kalau dari sejarahnya kripik pedes itu asli makanan tradisional Sunda apa bukan.

Kamunya sendiri asli Sunda, ya?
Ayah orang Bogor, Ibu orang Cianjur, tapi saya sendiri gede di Bandung.

Baiklah. Kalau orang mau tau tentang Maicih, harga, mesen di mana, dan lain-lain kira-kira ke mana, Bob?
Ke www.maicih.com aja …

Tapi tadi Dea buka masih “Hapunten Nuju Diwangun” (maaf sedang dibangun) …
Iya, aktivasinya bersamaan sama konser Bottlesmoker yang Kamis tanggal 28 Juli ini …


posterbotsmok

So sweet amat kalian kompak-kompakan … hehehe … btw, pas hari keseimbangan, dong, samaan juga sama terbitnya Salamatahari edisi 81 ini. Kamu pernah baca Salamatahari, nggak?
Pernah, dulu waktu masih blogspot suka baca, dikasih tau temen. Tulisannya lucu, manis, menginspirasi dengan cara yang sederhana. Sekarang udah dot com, ya?

Udah dot com dari taun lalu, lho …
Wah, berarti udah lama, ya, nggak baca …

Naaa … makanya sekarang seringin lagi, dong, baca Salamataharinya … hehehehe …

Maicih memang tokoh fiktif yang tidak nyata. Tapi kefiktifannya mengantarkan banyak hal abstrak mewujud nyata. Passion, kebaikan dan kearifan lokal yang tersimpan dalam seni-budaya, rasa pedas, adalah sesuatu yang tak mempunyai bentuk konkret, tapi hidup dan menghidupkan.

Semoga melalui Maicih, Bob Merdeka menularkan berbagai kesenangan yang memerdekakan …

Sundea

follow twitter @maicih dan @bobmerdeka

Mencuri Bisa Tak Dosa di Curipandang.com

“Sulit rasanya menahan diri untuk nggak berkomentar soal selebritis. Kegiatan dan karya mereka, sampai yang personal sekalipun. Merasakan hal yang sama? You're on the right place then.
Gosip, musik, film, pentas, konser, gaya, fashion, sampai tempat hangout mereka bisa jadi topik hangat di sini. Punya bocoran or info menarik? Yuk mari!”

logocuripandang … demikianlah perkenalan yang tertulis di curipandang.com. Situs yang digawangi oleh dua administrator, Titiw Akmar (Titiw) dan Anindhita Maharani (Ditha) ini mulai live pada bulan Juli 2009 (wow! Bulan ini ulangtahun, dong!). Curipandang merupakan “adik” dari situs Politikana.com dan Ngerumpi.com. Tiga bersaudara ini ada di bawah sebuah situs user generated content, salingsilang.com.





 

“Sebetulnya isu itu apa, sih?” tanya Dea kepada kedua administrator curipandang.com. “Isu itu kabar, berita menarik yang dibicarakan banyak orang. Biasanya belum atau tidak dikonfirmasi oleh yang bersangkutan, tapi dipercaya oleh sebagian orang benar adanya,” kata Ditha. “Nah, entah dari isu-isu yang ada ataupun fakta, kita mengabarkan sesuatu dari sebelah mata ataupun perspektif kita sendiri, kebanyakan yang berhubungan dengan artis atau dunia hiburan. Karena itu juga namanya curipandang.com,” tambah Titiw. “Banyak, lho, hal menarik yang bisa dilihat dari mereka (para selebritis),” timpal Ditha lagi.




Titiw dan Dhita, kedua admin Curipandang

Meski hanya terdiri dari dua administrator, ada banyak loyal supporter yang rajin mengunggah tulisannya ke situs ini. Jika mau, kamu juga bisa menyumbangkan pandanganmu seputar selebritis dan dunia hiburan. Caranya gampang sekali.
  • Klik "Registrasi" di sebelah kanan atas.
  • Isi form-form yang disediakan.
  • Cek email kita apakah ada email dari curipandang untuk aktivasi.
  • Cek juga di folder spam jika tak menemukan email dari curipandang di Inbox.
  • Setelah email ditemukan, klik, dan voila.
  • Welcome to curipandang.com! :)
Apa saja persyaratan tulisan yang sesuai dengan etika curipandang.com?
  • Tidak menyinggung SARA (meski dikit-dikit boleh menurut Titiw … hehehe …)
  • Sesuai dengan tema yang diusung curipandang.com, entertainment dan lifestyle
  • Memperhatikan tata bahasa (jangan kasar).
  • Posting foto tetap sopan tapi menghibur.
Simple kan ?

Tak sekedar bertemu di dunia maya, kadang para kontributor dan administrator curipandang.com menggelar kopi darat dan event-event seru. Bulan Mei lalu, misalnya, bersama induknya, salingsilang.com, curipandang menggelar Garage Sale di Taman Langsat. Mereka pun beberapa kali mengadakan diskusi buku dan film disertai makan-makan dan mengobrol santai di kantor mereka, Jln. K.H Achmad Dahlan no. 39, Kebayoran Baru, Jakarta.

kopdarakbar

Tertarik ikut berbagi cerita di situs ini ? ;)

Sundea

foto: Dok. Curipandang.com

Lapakerabat adalah rubrik baru di www.salamatahari.com. Pada rubrik ini, Salamatahari akan menceritakan usaha teman-teman secara gratis. Jadi, jika kamu punya usaha yang ingin diceritakan ala Salamatahari, kirim email ke salamatahari.sundea@gmail.com, ya. Nggak ada persyaratan. Yang penting pas di hati dan bertujuan baik =)

Tuhan Pada Hari Ulangtahun Dewi Kwan Im

Pada suatu hari beberapa bulan yang lalu, sepulang ngasih les di wihara, Miss Shinta, guru toddler Anak Pelangi Indonesia, ngebawa sekresek talas goreng. 


“Katanya hari ini ulangtaun Dewi Kwan Im, makanya mereka bikin talas ini banyak banget. Cobain, deh, enak,” kata Miss Shinta. Guru-guru API yang laper segera menyerbu si talas. Ternyata rasanya emang enak. Manis-manis gurih. Ada kacang-kacangannya segala. Kata Miss Shinta, orang-orang di wihara emang jago bikin masakan enak. Karena vegetarian, mereka jadi lebih kreatif ngolah bahan-bahan makanan yang boleh mereka makan.


 

Rasanya menyenangkan. Tuhan dan Dewi Kwan Im berhubungan baik. Pada hari ulangtaun Dewi Kwan Im, tuhan sendiri yang jadi goodie bag nganter-nganter makanan ulangtaunnya. Dea nyomot sepotong talas sambil nyapa tuhan, 



“Halo, tuhan…”
“Halo, Dea …”
“Makasih talasnya, ya. Salam buat Dewi Kwan Im. Bilangin selamat ulangtaun dari Dea.”
“Oh, iya. Nanti aku sampaikan.”
“Tuhan sengaja pake baju merah, ya, hari ini?”
“Iya, dong. Ini kan perayaan …”

Ternyata, Temen-temen, meskipun enak, talas itu berminyak banget. Dea ngelongok ke dalem tuhan yang ternyata juga udah banjir minyak.

“Yah, tuhan nggak bisa nyerep minyak, ya?” Dea nanya.
“Wah, Dea itu bukan bagianku. Tugasku cuma nampung.”
“Terus gimana, dong?”

Tuhan nggak ngejawab. Tapi Dea tau kebiasaan tuhan. Kalo udah diem begitu, artinya dia nyuruh Dea mikir sendiri atau bakal ngejawab pertanyaan Dea lewat orang lain atopun peristiwa.

Beberapa saat kemudian, Miss Yuli yang guru API juga dateng ngebawa tisu, “Ini, Kak, dibuang dulu minyaknya,” katanya sambil nyodorin selembar tisu. Dia sendiri udah ngebungkus talas yang mau dia makan dengan selembar tisu putih.

Dea ngebungkus talas Dea. Tisu yang tadinya putih berubah warna. Minyak-minyak ngelekat di dia dan si talas jadi lebih kering. “Tuhan emang maha. Tapi dia tau setiap makhluk ada bagiannya supaya sistem bisa berjalan,” Dea nyimpulin di dalem hati.

Sambil makan talas, Dea nginget-nginget Dewi Kwan Im. Dia sering disebut “Dewi Berbaju Putih yang Welas Asih”. Pada intinya, dia dan tuhan sama-sama pengasih.

Tunggu dulu. Dewi berbaju putih? Kalau kresek adalah tuhan, apa mungkin tisu adalah Dewi Kwan Im …?


Sundea